Kosmonout

263 30 13
                                    

Gadis itu menekuk lutut. Mukanya dijauhkan, terus dimajukan. Menerka.

Matanya menyipit menatap jendela yang mulai bersinar—karena sinar matahari, bukan hal lain. Dia yakin seyakin-yakinnya, bahwa pagi hari telah tiba. Tapi tak sejengkal pun dia bergeser. Sikap siku untuk beberapa menit ke depan. Kaki nol derajat, pinggang dan kepala sembilan puluh. Satu rutinitas bangun tidur yang benar-benar alami.

Kalau bukan karena teriakan Ibu, Shifa tidak berminat untuk tersadar. Tapi dengarlah pekikan Pengatur Segala Urusan itu,

"Ashifa Anastasia! Kau dalam masalah jika tidak turun sekarang! Orang-orang sudah berangkat!" Bahkan, di balik agregat semen kasar penopang lantai, daya suara Ibu tidak berkurang sedikitpun. Menjengkelkannya.

Shifa menggerutu dalam hati. Dia tidak ingin keluar hari ini. Ayolah, Mom. Biarkan aku berbaring di ranjang violet seharian. Hingga matahari tenggelam.

Tapi itu tidak akan pernah terjadi. Karena satu, dua, tiga, sepuluh detik kemudian, Ibu akan muncul di depan pintu, memelototi Shifa seperti sepucuk senapan Fuzzy menakutkan. Jadi lupakan saja.

Shifa menuruni tangga dengan tidak berminat. Menyusuri ruang keluarga. Edith, kakak laki-laki yang menyebalkan sedang sibuk menyelesaikan game Final Fantasy terbaru. Remake. Shifa berlalu di hadapannya. Pura-pura tidak mengacau.

"Hm? Mau pergi ke sekolah?" Edith memiring-miringkan kepala mengikuti irama permainan—jadi lupakan saja soal fokusnya—dengan nafas sedikit tertahan. Shifa seperti tikus yang kedapatan mencuri—tidak peduli.

"Kudengar jalan akan ramai karena pawai." Arian kakak kedua bersuara. Dari balik jendela berhias kaktus-kaktus muda.

"Kau tidak berminat ikut?"

"Ini hari yang bagus untuk berjalan-jalan."

"Adikku yang jelita."

Shifa mencebik, "Jangan ikut-ikutan." Ujarnya setengah gusar. Sandwich tuna tidak terlalu menggoda. Jadi biskuit remah-remah blueberry menjadi pilihan terbaik Shifa. Daripada keroncongan.

"Sudah, ah." Sambil menyandang tas hitam metalik—pemberian Ayah yang salah alamat—Shifa mengayunkan tangannya cepat seperti sedang mengelap kaca penampung botol soda. Itu artinya dia buru-buru.

Shifa menutup pagar rumah. Paling tidak hari ini bisa jadi lebih buruk. Harapan kecil seperti hari-hari sebelumnya. Bisa bertemu Rey di depan kelas X-II. Cowok beralis pedang itu seperti asap. Atau pastel. Tidak bisa ditebak.

Shifa melangkah sedang-sedang. Memerhatikan pola hitam kuning milik polisi tidur—lalu dia mulai berpikir kenapa pola mereka harus diagonal—sambil bersiul. Oh. Tidak pernah terduga. Seorang pejalan kaki menegur Shifa ramah,

"Hei, hari yang membahagiakan. Dan Anda seorang gadis yang cantik." Ujarnya tak kalang kabut.

Shifa menggamit. Terlalu dini untuk bilang terlambat. Tapi baiklah, rajutan wol belum selesai dibuat. Jadi, bersikap sopan adalah taruhan.

"Anda juga. Selamat menjalani hari yang indah."

Pejalan kaki itu menggelengkan kepala.Tampaknya dia tidak suka. Atau apalah. Berbelok ke taman-taman datar berbatu putih yang indah, di sanalah dunia sekolah Shifa. Sepenuhnya menyenangkan. Berjalan jauh lalu melewati gerbang porselen. Rasanya sudah seperti petualangan tingkat tinggi.

Tapi baiklah. Ide siapa yang menempatkan anak-anak cowok brengsek itu di depan kelas? Mereka pasti siap menerkam Shifa. Maunya begitu. Sejak dulu.

"Ehm! Shifa yang cantik ... , "

"Menoleh ke arahku tidak terlarang, bukan?" Heist tak tahu malu.

"Kurasa orang cantik punya berton-ton berlian. Dan tidak akan dibagi-bagikan kepada kita. Benar, bukan?" Darmala menyumbang pemikiran—yang tentu saja konyol.

Parker berhalusinasi, "Aih. Ratuku. Ah. Tidak. Putriku. Nestapa tak akan berlalu ... , "

Pipi Shifa menggembung, dia sinis, "Oh, menjauhlah dariku." Ujarnya sambil celinguk-celinguk memerhatikan kamar asap. Apa Rey di sana?

Tidak. Dia tidak ada di sana. Yang ada hanya sekarung kebodohan. Rasanya Shifa ingin berpaling. Tapi gawat. Geng Marhala telah tiba. Tim-tim Indiawati itu selalu menjengkelkan. Mereka bersusun-susun seperti sekawanan bebek. Atau mungkin rakun, kaos kaki belang-belang.

Alluna, pentolan geng berkomentar, "Shifa. Tawaran terbatas hari ini. Maukah kau bergabung dengan grup kami?" Setengah memelas setengah bersalah.

Shifa tertawa sinis, "Hmm. Sangat menggiurkan. What's the point?"

"Because you're beautiful." Alluna menjawab. "This is meaningless." rancunya.

"Masa?" Shifa ingin tertawa. Tapi yang ada malah matanya terasa sesak. Nah, lo. Sudah kubilang, ini hari yang berat. Mr. Willingham tidak perlu tahu.

Parker menambahkan, "Macam-macam orang datang dan pergi. Tapi satu sama lain tidak akan pernah serupa. Kau mengagumkan, Shifa. Tidak ada alasan bagi kami untuk mengabaikanmu."

Shifa mengangkat tangannya, "Lupakan saja." Ujarnya pas, sembari memasuki ruang belajar, berharap waktu akan melompat dengan cepat, lalu dia bisa bertemu Rey.

◾◾◾

Sore hari. Sedikit lagi. Shifa pulang dengan hati yang bosan. Pelajaran Mr. Willingham tidak seseru biasanya. Tidak, bukan karena integral. Mungkin bagan rantai makanan itu tidak benar-benar lengkap. Shifa menggerutu lagi. Langkahnya terantuk-antuk memprihatinkan.

Matahari mulai bergeser. Panasnya tidak menyengat lagi. Dan gawat. Jalan sedang ramai. Arian benar. Ada pawai hari ini. Rupa-rupa burung kenari raksasa bermunculan. Berwarna-warni, hijau dan biru cerah. Confetti berhamburan. Shifa memilih menepi dari jalan besar, dan dia mulai mempertimbangkan opsi meringkuk di balik pohon pinus muda di depan markas polisi yang baru dipugar.

Orang-orang berkerumun. Bernyanyi. Himne. Bersuka cita. Entahlah. Semua menjadi embun, abu-abu. Semacam karnaval, festival cosplay, atau memang pawai? Alih-alih bersembunyi di balik batang kayu—seperti konsep semula, Shifa malah berdiri statis menyaksikan ratusan manusia berlalu di hadapannya. Menakjubkan. Penuh makhluk hidup dan sensasi. Shifa menikmati sore itu dengan cara yang benar-benar tak biasa : menonton wanita berpakaian dalam naik kereta rusa. Hidup tidak pernah seaneh itu, kan?

Lalu ada badut-badut. Kemudian kosmonout. Lalu giliran gadis-gadis muda yang lewat. Menebar persona. Berdandan skema Jepang. Manis-manis. Kimono merah dan bedak putih yang tebal. Berbaris-baris. Shifa tertawa. Ini sangat keren, batinnya. Tanpa sadar seseorang memanggil namanya,

"Shifa?"

Shifa terpana. Salah seorang dari gadis jepang itu mengeja namanya. Bagaimana bisa dia tahu?

"Kau Shifa, kan?"

Shifa terperanjat,

"Rey??"

Rey tersenyum , berhenti berjalan sejenak, "Ya ... , ini aku ... ,"

Shifa terdiam mematung. Rey tergelak, lalu dia berteriak,

"Selamat hari kebalikan!!!"

Untuk LunaWhere stories live. Discover now