Sepuluh

270 41 2
                                    

Bintang menggeliatkan tubuhnya. Kedua matanya terpejam. Ditendangnya selimut, yang setengah membelit tubuhnya. "Huuuhhh ... panas ...," keluhnya. Gadis itu membalikkan tubuh semampainya ke arah dinding. Merapatkan diri ke dinding. Mencari hawa dingin dari sana.

Dug ... dug ... dug ... terdengar gedoran di pintu kamar Bintang, yang menoleh malas dan bergumam tak jelas. "Dot, lo di dalam? Udah siang kok belum keluar kamar?" Terdengar suara melengking khas Nana dari balik pintu.

"Masuk aja, Na." Bintang merespon dengan kedua mata masih terpejam.

Nana membuka pintu kamar, yang memang tak terkunci. Menggelengkan kepala melihat sahabatnya masih teronggok di tempat tidur. "Duh ... anak gadis jam segini masih molor. Jauh jodoh baru rasa lo!" sindirnya seraya mendekati tempat tidur Bintang.

"Apaan sih? Pagi-pagi ngomongin jauh jodoh. Pacaran aja belum pernah, udah jauh jodoh aja," protes Bintang dengan suara serak.

Nana mendekat. "Muka lo kok bengep? Habis nangis? Apa kurang tidur? Suara lo juga serak." Tangan kanannya terulur ke arah wajah Bintang. Hawa panas seketika berpindah ke telapak tangannya. "Lo sakit? Kok enggak kasih tahu gue? Kan, gue jadi bisa tidur di sini semalam."

Bintang mendengus. Menjauhkan wajah dari jangkauan tangan Nana. "Semalam gue enggak kenapa-kenapa, Na. Ini aja gue baru sadar kalau badan gue demam."

"Gue ke apotek depan dulu deh. Beli obat demam dan kompres instan dulu. Enggak apa-apa, kan, gue tinggal sebentar?" tanya Nana seraya meraih dahi Bintang.

Bintang mengangguk. "Duit obatnya lo ambil aja di dompet gue, Na. Sorry, ya, ngerepotin."

"Apaan sih? Siapa juga yang mau minta duit buat beli obat. Urusan gue itu. Kayak ke siapa aja lo tuh." Nana menatap sebal ke arah Bintang. Gadis berambut sebahu itu berbalik dan meninggalkan Bintang.

Bintang tersenyum tipis. Kedua bibirnya terasa kering. Dipandanginya langkah Nana, yang meninggalkan kamar. Tepat saat Nana menutup kembali pintu kamarnya, Bintang beranjak ke kamar mandi dengan langkah terseret.

...

Tok ... tok ... tok ...

Pintu kamar Bintang kembali diketuk. Wajah polos Kejora muncul. Membawa sesuatu di atas nampan plastik berwarna hijau. "Hai, Kak. Katanya sakit. Aku bawain bubur nih. Tadi aku lagi beli bubur di depan, terus ketemu Kak Nana. Dia bilang, Kakak sakit. Aku beliin bubur deh untuk Kakak sarapan." Si Lincah Kejora mendekat. Wajahnya berhias senyum ramah. Diletakkannya nampan di atas meja. Mendekat ke tempat tidur. Membantu Bintang duduk bersandar.

"Eh, kok jadi ngerepotin kalian sih. Aku bisa kok beli sarapan sendiri." Bintang berusaha menolak dengan halus bantuan Kejora. Kembali dirasakannya degup jantung, yang memacu lebih cepat, saat kulitnya tersentuh halus jemari Kejora.

Kejora meraih mangkuk bubur tanpa toping dan berkuah sedikit itu. "Enggak aku kasih apa-apa buburnya. Kan, Kakak lagi sakit. Kakak mau makan sendiri atau aku suapin aja kalau Kakak lemas?" Gadis itu seolah tak mendengar protes Bintang.

Bintang refleks menggeleng. Diraihnya mangkuk bubur di tangan Kejora dan mulai menyendok isinya. Beberapa suapan, dihentikannya aktivitas. Dialihkannya pandangan ke arah Kejora. "Kamu bisa ninggalin aku sendirian, Ra." Sedikit timbul rasa jengah setelah sadar bahwa Kejora memperhatikannya sejak tadi.

Kejora menggeleng. "Aku di sini aja. Nunggu Kakak selesai sarapan. Aku harus pastiin kalau bubur dariku habis." Gadis itu bangkit dan mulai mengelilingi kamar Bintang.

Bintang Venus (GXG Story)Место, где живут истории. Откройте их для себя