Sembilan Belas

233 40 8
                                    

"Jadi, lo serius deketin Codot, Ri? Bukan sekadar karena gue minta tolong lo?" Nana, yang tengah duduk di balkon lantai dua, menoleh sekilas pada Arimbi, sebelum meneguk kopi vanilla late instannya.

Arimbi menatap langit malam, yang hanya sedikit bertabur bintang. Tersenyum. "Kayaknya, gue memang tertarik sama dia, Na. Sikap dingin dia. Sikap cuek dia. Bikin gue pengen lebih dekat sama dia. Lagipula, dia manis. Cantik sih kalau dia mau dandan sedikit."

Nana tersenyum. "Gue enggak yakin lo bisa bikin Codot jatuh cinta sama lo. Kan, lo tahu sendiri, gadis macam apa yang bisa buat seorang Codot bergetar hatinya!?"

Arimbi berdecak kesal. "Gue juga enggak kalah cantik dan menggemaskan kok kalau jadi cewek."

Nana terbahak seketika. "Serius lo mau jadi 'cewek'? Cuma demi seorang Bintang Venus alias Codot? Teman gue?" Nana menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sebucin itukah anda, Wahai Nyonya setengah Tuan?"

Arimbi menoyor kepala sepupunya itu. "Emang salah kalau suatu saat gue berubah? Jadi cewek seutuhnya? Lo itu, ya ... gue mau berubah malah dikatain!!!"

Nana memamerkan cengiran. "Asli ya, kalau  lo beneran berubah jadi cewek seutuhnya, gue bakal ngadain syukuran seminggu full kalau perlu sampai sebulan, non-stop."

Arimbi menatap datar ke arah Nana. "Serah lo deh. Lo setuju enggak kalau gue deketin Venus beneran?"

Nana terdiam sesaat. Menimbang. Setuju atau enggak, dua-duanya beresiko. Gue setuju, berarti gue bikin sahabat gue makin belok. Gue enggak setuju, takutnya si Codot makin menjadi sama Kejora. Kalau Codot enggak suka terus marah sama gue gimana? Terus dia jauhin gue? Masa gue harus kehilangan sahabat cuma gara-gara Lelaki Jejadian ini sih!? Tanpa sadar, Nana menggaruk kepalanya, yang tak berketombe itu.

Arimbi memperhatikan perilaku sepupunya itu. "Lo ragu, kalau gue bisa dapatin Venus? Lo tenang saja, kalau dia sudah jadi sama gue, janji deh, pasti gue buat dia bahagia selalu."

Nana menoleh dan menatap Arimbi. "Kalau Venus sampai nolak lo, gue minta lo berhenti ngejar dia. Gue enggak mau, kalau persahabatan gue sama dia hancur gara-gara lo."

Arimbi tersenyum. "Jadi ... secara enggak langsung, lo sudah merestui kalau gue deketin Venus." Ditepuknya punggung Nana. "Lo cukup kasih gue dua kesempatan kok. Kalau keduanya gagal, gue pasti mundur."

Nana tersenyum tipis. Hatinya masih ragu akan keputusan yang telah diambilnya.

...

Bintang berjalan menyusuri rak berisikan novel-novel komedi romantis, yang masih terbungkus plastik dengan rapi. Sesekali jari jemari lentiknya meraih salah satunya. Membalik novel tersebut untuk membaca sinopsisnya. Menimbang sekilas, akan memasukkannya ke dalam keranjang atau mengembalikannya ke rak.

Dari ujung rak, seseorang memperhatikan gadis tinggi semampai itu. Seolah tengah memastikan. Sedikit memiringkan kepalanya. Tersenyum, yang memperlihatkan lesung pipi, yang cukup dalam di kedua pipinya. Pemilik sepasang mata kecokelatan itu melangkah mendekat setelah meraih salah satu novel.

"Sudah baca judul ini? Cukup best seller kok." Sebuah tangan terulur dengan sebuah novel di tangan. Kedua mata Bintang refleks menatap ke arah novel itu. Membaca judulnya. Gadis itu mengangkat wajah. "Novel best seller kurang menarik untuk saya. Terlalu banyak opini dan sinopsis liar tentang novel itu, membuatnya tak lagi menggugah selera." Ditatapnya dengan dingin gadis di sebelahnya.

Gadis dengan kaos polos hitam berlengan pendek itu tersenyum. "Selera yang tidak berubah."

Bintang mengerutkan dahi. Tatapannya tajam menyelidik. Mengingat. Siapa perempuan ini? Kenapa seolah-olah mengenalku? Mengenal kebiasaanku!

Bintang Venus (GXG Story)Where stories live. Discover now