Dua Belas

252 43 0
                                    

"Dot, katanya lo tadi diantar Lintang, ya? Tumben mau berurusan sama tuh cewek." Nana, yang tengah menyantap mie rebus instan di meja makan, bertanya pada Bintang, yang tengah memasak nasi goreng.

"Kok tahu?" tanya Bintang tanpa menoleh. Santai. Seolah diantar Lintang bukan hal istimewa. Dan memang tidak istimewa.

"Kata Kejora, lo nyaris disosor si Nenek Gambreng, ya? Kok bisa? Dia nganterin lo minta bayarannya itu?" tanya Nana dengan nada yang kental akan rasa penasaran.

Bintang berdecak. Merasa mual saat secara otomatis ingatannya memutar kembali kejadian nista itu. "Iya. Gila tuh perempuan. Untung ada Jora."

Nana terbahak. "Haduh, lo suka cewek, tapi giliran mau dicium cewek malah takut."

Bintang berjalan menuju meja makan. "Gue milih-milih, ya. Lagipula, gue enggak rela kalau first kiss gue diambil Nenek Gayung macam Lintang."

"Pasti lo mau kasih first kiss lo buat dia, kan. Jujur nih, gue masih penasaran siapa tuh cewek. Seperti apa itu orang sampai bisa membuat sahabat gue, yang terkenal dingin melebihi gunung es ini, luluh. Pasti dia bukan cewek biasa."

Bintang mengulas senyum. "Nanti juga lo tahu kalau memang ditakdirkan untuk tahu."

"Pagi Cewek-Cewek Cantik. Lagi sarapan, ya?" Arimbi masuk ruang makan dengan senyum lebar dan tangan yang menjinjing sebuah bungkusan hitam. "Lagi pada sarapan, ya?" tanyanya lagi seraya mengambil sebuah piring.

"Pagi juga, Cewek Jelek. Kita lagi lari pagi nih." Nana menjawab asal pertanyaan tidak penting Arimbi. "Lo bawa apa?" tanya Nana. Penasaran dengan bungkusan hitam yang menguarkan aroma cokelat, yang begitu menggoda.

Arimbi membuka bungkusannya. Mengeluarkan roti bakar cokelat susu, yang begitu menggoda. Meletakkan di piring dengan rapi. Tangan Nana refleks terjulur. Plak. Arimbi menepis gemas tangan kanan Nana. "Yang punya aja belum nyomot, yang minta udah nyosor aja," protesnya seraya menjauhkan piring dari jangkauan Nana. Ditolehkannya kepala pada Bintang, "mau enggak, Nus? Ambil nih. Mau diambil semua juga boleh." Dipindahkannya piring ke hadapan Bintang.

Nana mencibir. "Kampret emang!!! Giliran Bintang aja, boleh ngambil duluan!!! Tadi lo manggil apa? Nus? Lo pikir nama teman gue anus apa!!!"

Arimbi menjulurkan lidah. "Suka-suka gue. Kenapa situ yang repot. Gue emang sengaja beli roti bakar untuk bidadari cantik gue."

Bintang menggelengkan kepala. Didorongnya piring ke tengah meja. "Ya udah, kita makan bareng aja rotinya. Enggak apa-apa kan, Ar?"

Arimbi mengangguk dengan senyuman. "Boleh dong. Apa sih yang enggak buat Neng Venus?"

"Najis!!! Receh banget sih lo, Bangke!!! Gombalan lo kayak sopir truk tahu enggak!!! Mual gue dengarnya!!!" Dengan nada tinggi Nana membombardir Arimbi dengan makian.

Arimbi menaikkan kedua alisnya. "Kok lo tahu sih? Jangan-jangan lo suka digenitin sama sopir truk, ya? Pantesan ...." Arimbi mulai meraih sepotong roti bakar.

"Bangsat!!!" Diraihnya kotak tisu, yang memang tersedia di meja makan, dan melemparnya ke arah Arimbi.

Bintang hanya menggelengkan kepala. Heran dengan kelakuan dua gadis di hadapannya.

...

Bintang berbelok masuk ke perpustakaan kampus. Menuju salah satu rak, yang memang jadi tujuannya. Mulai memilih beberapa buku.

Kedua mata tajam itu terfokus hingga tiba saat jari-jari lentiknya menarik sebuah buku, yang kemudian membentuk celah di antara deretan buku. Lewat celah itu, pandangan Bintang teralih. Sesosok gadis membuat gerakannya secara refleks tertahan.

Kian digesernya beberapa buku hanya agar celahnya untuk memperhatikan kian terbuka. Sebuah senyuman terukir di wajahnya, yang biasanya dingin. Sebuah senyum yang hadir tanpa alasan. Kedua matanya terus memperhatikan.

Di sana, duduk di salah satu bangku panjang di tengah perpustakaan, Kejora tengah bercengkrama dengan buku di hadapannya. Pandangannya lekat pada lembaran buku. Terlihat sangat fokus.

Sorot sinar mentari setengah siang, menyelinap melalui sekat jendela. Mengarah pada gadis mungil berwajah polos di sana. Membuat setengah dari wajah manisnya seolah bercahaya.

Jantung Bintang berdegup. Berdenyut kian cepat seiring keterpesonaanya akan keindahan Kejora. Senyumnya kian mengembang. Dunia di sekitar mereka seolah menghilang dan hanya menyisakan dirinya juga Kejora.

Seperti namamu, kau bersinar memukau layaknya bintang kejora. Membuat kedua mataku tak mampu beralih. Membuat denyut nadiku tak lagi beraturan. Hanya dalam diam kau mampu mengacaukanku, Putri.

"Hei, mau milih buku malah ngelamun sih. Buruan. Kita ada kelas habis ini."

Suara itu membuyarkan semua. Bintang menoleh. Wajahnya kembali mendingin. Ada kesal yang datang. Tak terima kesenangannya terusik. "Udah selesai kok. Yuk, ke kelas," ujarnya datar. Sekali lagi mengintip lewat celah rak. Tersenyum samar sebelum pergi meninggalkan perpustakaan.

...

"Lo yakin Bintang sama seperti lo?" tanya Susan saat makan di kantin bersama Lintang.

"Gue masih ragu. Tapi, kemungkinan besar, Bintang sama seperti gue." Kedua mata Lintang menerawang. Sebuah senyuman tipis terukir tanpa sadar. Mengulang kembali peristiwa kemarin di kamar kost Bintang.

"Kenapa lo? Kesenggol jin pohon cempedak di depan?" Susan menatap curiga sahabatnya.

Lintang tersenyum lagi. "Enggak apa-apa. Gue cuma mengenang hal indah gue dan Bintang." Digigitnya pelan bibir bawahnya, yang terpulas lipstik merah. Gemas oleh ingatannya akan ekspresi panik Bintang kemarin. "Ah, gue semakin penasaran dengan tuh cewek."

...

"Kak Bintang!!!" Kejora setengah berlari, berusaha menyusul Bintang, yang berjalan cukup jauh darinya.

Bintang, yang mengenali suara Kejora, refleks menghentikan langkah, berbalik dan menunggu gadis itu mendekat. Seperti biasa, jantungnya berdenyut melebihi detakan normal. Dihelanya napas panjang untuk membuat dirinya lebih tenang. Dan lagi, Putri. Tanpa perlu banyak perlakuan, kau membuatku kehilangan kendali atas diri sendiri. Cukup dengan hadirmu, mampu meluruhkan semua rasa percaya diriku. Bintang terus menatap Kejora.

"Aaahhhh!!!" Kaki kanan Kejora, tak sengaja menginjak batu yang cukup besar. Membuat keseimbangannya goyah. Tanpa dapat dikendalikan, tubuh mungilnya terdorong ke depan.

Bintang refleks mengulurkan kedua tangannya. Menangkap tubuh mungil Kejora. Mencegah gadis itu tersungkur di atas tanah berbatu. Setengah memeluk tubuh gadis itu. Rasa hangat seketika menyelubunginya, bermula dari kedua telapak tangannya yang bertempat di pinggang Kejora.

Wajah Kejora memerah. Masih ada aura terkejut di wajah polosnya. "Ya ampun. Makasih, Kak. Aku enggak lihat ada batu. Maaf, Kak," ujarnya. Berusaha menegakkan diri dan menjauh dari tubuh tinggi semampai Bintang.

Bintang mengangguk kaku tanpa mengerti semua yang diucap Kejora. Ada rasa tak rela saat Kejora menarik diri menjauh lalu berdiri tegak di depannya. Sekuat tenaga, ditahannya keinginan untuk menarik Kejora ke dalam pelukannya.

"Mau pulang? Bareng, yuk. Kakak enggak ada rencana mau mampir ke mana dulu?" tanya Kejora dengan nada riang. Seperti biasa.

Bintang menggeleng walau ingatannya memperingatkan akan janji temu dengan Silva, salah satu sepupunya. Pulang bersama Kejora lebih menarik baginya. Menghabiskan waktu bersama gadis ceria ini, walau tak lama membuatnya tak menghiraukan peringatan pikirannya.

"Yuk, pulang ...." Kejora meraih telapak tangan kiri Bintang. Menautkannya dengan telapak tangan kanan miliknya. Menggandeng Bintang tanpa peduli sekitar.

Kedua mata Bintang, tertuju lekat pada kedua telapak tangan, yang menyatu di depannya. Hanya diikutinya langkah Kejora. Sebuah melodi merdu mengalun dalam benaknya. Menyanyikan kebahagiaan yang tak sepenuhnya dipahami.

...

Bintang Venus (GXG Story)Where stories live. Discover now