Prologue

38.2K 1.5K 143
                                    

Seorang pendosa seperti gue, apa layak bahagia?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seorang pendosa seperti gue, apa layak bahagia?





"Fuck! Bacot doang juga gak baik!" serunya.

Bugh!

Tanpa takut ia menghajar lelaki di depannya, setelah dua jam yang lalu terlibat cekcok. Tanpa ampun lelaki dengan wajah tampan dan sangat tegas, memukul lawannya hingga terkapar lemah tak sadarkan diri.

Dia adalah Harvey Nalendra, ketua Dandelion sekaligus Putra dari konglomerat nomor satu di Jakarta. Pecandu berat, dan punya hobi buruk seperti balapan liar dengan teman-temannya. Dia tampan, tubuhnya tinggi, dengan alis tebal yang semakin mempertegas wajahnya.

Banyak yang bilang, kalau semua orang takut berhadapan dengan lelaki itu. Cara memukulnya jika di luar kendali sangatlah mengerikan, tak jarang lelaki itu bisa membuat lawannya masuk rumah sakit.

Seperti halnya sekarang, dia meludah ke tubuh lelaki sekarat itu. Keputusannya mencari masalah dengannya malam ini salah besar, dia dalam pengaruh obat yang di konsumsinya, membuat halusinasi dan gairah dalam tubuhnya meningkat.

"Wah, lo keren banget, boleh minta nomornya, gak?" tanya seorang wanita dengan temannya.

Harvey hanya melirik dua wanita itu, ia menyeka sisa darah di sudut bibirnya lalu tersenyum manis.

"Jangan bilang-bilang ya," ucapnya menggoda sambil mengedipkan sebelah matanya, lalu mengabaikan dua wanita itu dengan menunggangi motornya.

Dia melaju sangat cepat, memecah jalanan kota yang sangat ramai. Merasakan tabrakan angin di wajahnya, membuat perasaannya sedikit nyaman. Salah satu alasan, Harvey membentuk geng motor dengan kegiatan tak pentingnya.

Lelaki berjiwa bebas itu memang sulit diatur, tapi pintarnya dia bisa mengelabui keluarganya sehingga tak ada yang tahu tentang hobi atau kebiasannya mengonsumsi obat-obatan terlarang.

Hingga pada suatu ketika, ia dalam pengaruh obat dengan dosis yang lumayan tinggi. Membuatnya lemah tak berdaya, bahkan hilang kendali pada halusinasi yang ia ciptakan.

Sesak, rasanya sangat menyiksa dan begitu menyakitkan sejak dua jam yang lalu. Niat dan usahanya menjadi sia-sia ketika tangannya berusaha meraih benda pipih seperti perangko. Sekeras mungkin dia memukul-mukul dadanya untuk menenangkan pikirannya yang berontak.

Sakit sekali, dia ingin tapi sudah berjanji untuk berubah.

"Harvey!" teriak seseorang, kemudian berlari dan memeluknya erat.

Harvey : Help Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang