Bag 05. Woman

10.4K 729 36
                                    

Minggu pagi, Harvey baru pulang menuju rumahnya, semalaman dia tidur di markas bersama Jaxen yang setia menemaninya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Minggu pagi, Harvey baru pulang menuju rumahnya, semalaman dia tidur di markas bersama Jaxen yang setia menemaninya. Matanya begitu sayu, dan kepalanya masih terasa pusing. Ternyata ucapan Aksa benar, kalau obat yang dia konsumsi punya efek yang lama.

Sebuah motor dengan merk Yamaha All New R15 yang berwarna hitam baru saja terparkir di halaman. Secara perlahan, pemuda tampan itu membuka helm full face-nya, lalu ia gantungkan di kaca. Sebelum turun, dia memperhatikan rumah mewahnya sejenak, mengangguk singkat lalu turun dari motornya.

Harvey melangkahkan kakinya santai sambil menggeleng-gelengkan kepala supaya pusingnya mereda.

"Hm, jam sepuluh lewat." Harvey berdehem setelah melirik jam tangannya.

Harvey sudah berdiri di depan pintu rumahnya, ia diam sejenak lalu menghela napas panjang.

Klek- Kosong ... Itulah yang pertama kali Harvey rasakan.

Rumah dengan ukuran yang sangat besar bagai istana, hanya ditinggali oleh Harvey, Kakak, Ayah dan para pekerja. Tak heran, untuk rumah sebesar itu, terlihat jelas kekosongannya.

"Eh, Dek, lo habis dari mana?" tanya sang Kakak yang baru saja turun dari kamarnya, dengan setelan baju serba hitam.

Harvey tersenyum singkat. "Rumah Jaxen," balasnya berbohong.

Lalita Nalendra, atau Kakak Harvey yang punya jarak usia cukup jauh. Sang kakak baru saja lulus kuliah, sedangkan Harvey baru naik ke kelas tiga SMA.

"Lo mau ke mana?" tanya Harvey canggung.

"Ke makam Mama, lainnya udah pada di sana, lo mau ikut?"

Harvey tak bergeming pada pertanyaan Lalita, kembali teringat sosok Mamanya yang sangat dia benci. Bahkan, sejak Mamanya meninggal Harvey belum pernah mengunjunginya.

"Dek, Kakak tahu, tapi mau sampai kapan? Mama udah hampir tiga tahun, dan kamu masih belum memaafkannya?"

Iris tajamnya langsung bergerak melirik Lalita tajam, tidak semudah itu memaafkan seseorang meski Ibunya sendiri.

"Dah, pergi sana!" usir Harvey, kemudian berlari pelan menaiki anak tangga.

Di lantai dasar, Lalita hanya diam memandang sang adik, prihatin dengan kondisinya. Tapi dia bisa apa, ketika Harvey sendiri menolak untuk diberi perhatian. Lalita menghela napas panjang, lalu melanjutkan langkahnya.

Helaan sebuah napas kasar dan berat baru saja memenuhi seluruh ruangan, pemuda itu dalam posisi terlentang di ranjang dengan tangan sebagai tumpuan. Dipandangnya langit-langit kamar, ia tersenyum pahit acap kali mengingat kenangan buruk bersama sang Mama.

Harvey : Help Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang