11. Calon Imam

2.4K 231 56
                                    

💉 Amalia

"Nomor teleponnya Pak Komandan nih, dok."

"Sudah tahu."

"Berarti ayo disimpan. Biar acara PDKT makin semangat lagi, dok."

"Sudah disimpan juga."

Laras makin cengengesan dan berani sekali menyikut lenganku. "Wah. Dokter Amel, memang selalu bisa gerak cepat ya."

Aku menunjukan senyum bahagiaku. Dan Laras pasti sudah bisa langsung paham dengan apa maksudku.

Karena aku memang sudah tahu dan segera menyimpan nomor ponsel Pak Komandan.

Tepat setelah beberapa hari yang lalu aku selesai memberikan suntikan vaksin untuk Pak Komandan Tampan.

Jika kalian tanya dari mana aku bisa tahu nomor telepon Agam Prawira Laksamana, maka jawabannya, dari lembar kertas yang Pak Komandan bawa ketika dirinya ingin mendapatkan suntikan vaksin booster dosis kedua.

Memang benar-benar definisi menggunakan kesempatan besar yang sedang ada.

Tapi tak apa. Namanya sedang berusaha.

"Jadi berarti, sudah saling kirim pesan dengan Pak Komandan dong, dok."

"Kalau itu, belum."

"Loh? Kenapa?"

"Belum berani."

Jawabanku membuat Laras jadi terkekeh dengan begitu geli.

"Kenapa harus nggak berani, dok?"

"Ya karena aku ini perempuan."

"Saya juga jelas tahu kalau dokter Amel adalah seorang perempuan. Nggak mungkin laki-laki."

"Ya kalau sudah tahu, kenapa nanya lagi?"

"Ya karena saya rasa, walau dokter Amel memang adalah seorang perempuan, tak apa kalau dokter Amel yang terlebih dahulu menghubungi Pak Komandan."

"Jangan, Ras."

"Kenapa? Dokter Amel cantik. Banget malahan. Sudah jadi dokter. Mapan. Punya pekerjaan tetap, juga sudah memiliki tempat tinggal di usia muda. Jadi kenapa dokter Amel nggak berani? Karena menurut saya, dokter Amel akan sangat serasi dan pantas sekali untuk jadi pendampingnya Pak Komandan."

Aku kembali menunjukan senyum bahagiaku. Terharu sekali dengan bentuk dukungan begitu baik yang selalu Laras lontarkan untukku. Tapi tetap saja, kalau kalimat Laras yang seperti itu, tak bisa menguraikan rasa hati-hati yang harus tetap dipegang teguh olehku.

"Pantas atau tidak, serasi atau tidak, itu bukan orang lain yang bisa menjamin, Ras. Tapi orang yang menjalaninya, yang akan lebih tahu tentang bagaimana perasaan dan pilihannya. Begitu juga dengan aku, atau Pak Komandan. Mungkin perasaanku, memang sudah ada. Tapi kalau Pak Komandan, aku nggak tahu."

"Tapi nggak ada aturan kalau perempuan nggak boleh mendekati terlebih dahulu."

"Memang nggak ada. Semua bebas untuk melakukannya. Silakan. Selagi memang sudah mantap dan yakin betul, lalu benar-benar berani. Ya silakan, nggak papa. Nggak akan ada yang bisa melarang. Tapi kalau itu aku, dan laki-lakinya adalah Pak Komandan, maka jawaban dariku, adalah nggak, Ras. Karena aku jelas sudah sangat tahu batasan Pak Komandan seperti apa. Aku paham betul bagaimana aturan ketat yang Pak Komandan punya. Jadi aku nggak mungkin terlalu berani apalagi sampai lancang untuk mendobrak pertahanannya."

"Berarti dokter Amel akan menunggu?"

"Mungkin bukan menunggu yang hanya diam saja. Karena aku akan tetap berusaha. Tapi berusaha, yang sesuai dengan batasannya. Jadi biar semuanya mengalir secara natural. Tidak usah dipaksa. Apalagi terlalu dikejar. Karena aku nggak mau kalau Pak Komandan justru jadi risih dengan keberadaanku. Apalagi kalau itu soal nomor ponsel pribadi. Karena nggak semua orang akan suka jika dituntut dengan rentetan pesan, Ras. Karena aku juga begitu. Jadi biar aku simpan saja dulu. Pergerakan selanjutnya, apakah aku akan berani untuk mengirimkan pesan atau tidak dengan Pak Komandan, itu tergantung dari bagaimana pilihan Pak Komandan."

Prawira Laksamana ✔Where stories live. Discover now