44. Rasa Percaya

1.8K 216 47
                                    

🔫 Agam

Ternyata, tempat makan yang Mas Aidan sebutkan adalah sebuah cafe bernuansa Bali yang tak jauh dari Rumah Sakit tempatnya bekerja.

Tempatnya bagus dan menawan. Dengan dekorasi seakan-akan kita sedang berada di pulau dewata yang selalu memancing kekaguman. Yang memang cocok sekali dijadikan sebagai tempat singgah setelah lelah dengan berbagai macam kesibukan.

Duduk di salah satu spot outdoor yang ada di cafe ini, seorang pramusaji langsung datang dan memberikan menu dengan terampil sekali.

"Mau makan apa?"

Aku langsung memasang senyumanku. "Sebenarnya, sebelum datang ke Rumah Sakit untuk bertemu dengan Mas Aidan, saya sudah berkunjung terlebih dahulu ke rumah Papa dan Mama, Mas. Dan di sana, sudah disuguhi makanan. Jadi sepertinya, sekarang, saya pesan minuman dan cemilan saja."

Jawabanku dibalas dengusan oleh Mas Aidan.

"Sok banget. Udah langsung berani panggil Papa dan Mama ya. Padahal, Papa dan Mamaku sama Amel."

Ledekan Mas Aidan jadi kubalas dengan bentuk keberanian juga. "Akan jadi Papa dan Mamaku juga, Mas. Segera."

Mas Aidan mendengus lagi. Tapi sepertinya, sudah lelah protes, karena tak lagi melarangku memanggilnya 'Mas' seperti tadi.

"Mau apa? Kopi?"

"Boleh, Mas."

Aku langsung setuju. Untuk menghargai tawaran baik yang telah Mas Aidan berikan untukku.

"Mau kopi apa?"

"Boleh samakan dengan kopi yang Mas Aidan pesan saja."

Ya, itu pilihan yang paling tepat menurutku. Selain menghormati Mas Aidan yang sudah mau duduk dan bicara padaku. Sebenarnya, aku juga bukan tipe seseorang yang sering meminum kopi dalam keseharianku. Jadi memang aku tak begitu paham dengan jenis kopi enak mana yang kini sudah berderet begitu panjang dalam daftar menu.

"Beneran nggak mau pesan makanan?"

Manisnya. Walau tatapannya masih tajam luar biasa, tapi jenis pertanyaan seperti ini sudah membuktikan bahwa sebenarnya hati Mas Aidan tulus dan baik sekali perhatiannya.

"Iya, Mas. Beneran. Soalnya, saya masih harus nyetir lagi ke Solo. Jadi kalau terlalu kenyang, takutnya, malah jadi ngantuk di perjalanan."

"Ya. Oke. Jadi, buat snack, kamu mau apa?"

"Roti bakar saja. Yang coklat keju."

Selesai memesan beberapa menu, Mas Aidan langsung melontarkan sebuah pertanyaan tak terduga untukku.

"Kamu nggak merokok, kan?"

"Alhamdulillah. Nggak, Mas."

Jawaban cepat dariku membuat Mas Aidan langsung tersenyum dengan sangat puas.

"Bagus. karena kalau kamu perokok, berarti, berhenti dulu, sampai kamu benar-benar bebas, baru kamu boleh menikah sama Amel. Karena rokok itu bukan hanya bahaya buat pecandunya, tapi juga rentan untuk siapa saja yang menghirup asap rokoknya. Dan aku nggak mau kalau Amel sampai dalam bahaya."

Aku jelas langsung memberikan anggukan kepalaku. "Iya, Mas. Saya paham. Alhamdulillah, semua anggota keluarga saya, sejak dulu, juga tidak ada yang merokok. Bapak, Mas Andri, mau pun Diaz, juga saya. Jadi insyaAllah, Mas Aidan bisa percaya, kalau saya tidak akan tega memberikan bahaya dalam bentuk seperti itu untuk Amel."

"Ya. Jadi jangan melanggar. Atau kamu beneran akan aku bedah di meja operasi."

Ancaman beruntun yang sudah mulai terbiasa kudengar.

Prawira Laksamana ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang