29. Tanpa Pemberitahuan

1.9K 225 63
                                    

💉 Amalia

"Akhirnya, selesai juga." Senangku dengan helaan napas super lega.

"Selamat, dokter Amalia."

Aku jadi terkekeh karena ucapan selamat yang baru saja diberikan untukku.

"Bukan cuma buat aku. Tapi buat kamu juga, Niar."

Danira. Gadis cantik yang kini sedang menunjukan senyumannya, juga lekas memberikan anggukan kepalanya.

"Kalau begitu, terimakasih, dokter Amalia."

"Sama-sama, Niar. Kembali kasih juga ya. Selamat juga untuk kamu. Dan terimakasih untuk semua bentuk kerjasama baiknya selama ini."

"Sama-sama, dok. Senang sekali bisa punya 1 proyek yang sama dengan dokter Amel."

"Tapi pasti, lebih happy lagi waktu sama Danish ya?"

Kini aku jadi ingin sekali tertawa. Saat Danira langsung terdiam karena aku menarik serta nama Danish dalam pembicaraan kami berdua.

"Iya, kan?" aku yang kembali mengajukan pertanyaan.

"Semuanya, membuat saya bahagia. Entah ketika bersama dokter Amel, atau dengan dokter Danish."

"Oh ya?" aku jadi ingin sekali menggoda Danira. Apalagi ketika rona merah mulai menjalar di pipinya.

Gemas sekali.

"Iya, dok. Benar. Bekerjasama dengan dokter Amel dan dokter Danish, sama-sama membuat saya jadi sangat senang. Karena dokter Amel dan dokter Danish, sama-sama seorang senior dan dokter yang baik sekali. Pintar. Tapi tak pernah sungkan untuk membagikan ilmu yang dipunya. Jadi saya sungguhan, dok. Kalau bekerjasama dengan dokter Amel dan dokter Danish, sama-sama membuat saya jadi sangat bersyukur."

"Oh ya, Niar."

"Kenapa, dok?"

"Ngomong-ngomong soal senior, aku beneran baru tahu kalau kamu adik kelasku."

Danira makin menunjukan senyum tulusnya untukku. "Tidak apa-apa, dok. Wajar kalau dokter Amel lupa dengan saya. Karena dulu, waktu masih pendidikan, dokter Amel aktif sekali di kampus. Jadi pasti sering sekali bertemu dengan banyak orang. Makanya dokter Amel jadi tak bisa ingat dengan saya."

"Ah nggak juga. Dibanding sama Danish, dulu, waktu kita masih kuliah, jelas Danish yang lebih banyak sibuk daripada aku. Berarti, memang ingatanku yang lagi buruk."

"Atau, mungkin, karena wajah saya yang terlalu pasaran, dok. Makanya jadi banyak yang serupa. Jadi tak bisa diingat jelas oleh dokter Amel."

Jawaban Danira jadi membuatku tak enak hati padanya. "Jangan gitu dong."

Kekehan Danira jadi mengudara. "Tidak apa-apa, dok. Sungguh. Dokter Amel sudah mau bersama saya, saya juga sangat senang. Jadi benar-benar tak apa. Diingat sebagai rekan kerja, juga sudah membuat saya sangat bersyukur. Jadi soal ingatan tentang adik kelas saat pendidikan, tak apa kalau baru diingat sekarang."

"Iya. Aku beneran baru tahu. Kalau Danish nggak cerita, kayaknya, aku beneran tetap bakal tahu kamu ya sebagai rekan kerja di Rumah Sakit ini."

"Malah jadi langsung naik tingkat ya, dok."

"Iya. Kaya kamu sama Danish ya."

Danira jadi menunjukan ekspresi terkejutnya. "Kenapa dengan saya dan dokter Danish, dok?"

Dan kini aku jadi ingin segera mencari tahu jawaban atas semua rasa penasaranku.

"Iya. Kaya kamu sama Danish. Yang setiap tingkatnya, bisa selalu diingat oleh kalian berdua. Dari semenjak kalian ketemu di lab, sampai sekarang di Rumah Sakit, dan sering banget saling membantu."

Prawira Laksamana ✔Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora