51. Genderang Perang

1.7K 203 34
                                    

🔫 Agam

Memasuki mobil dengan helaan napas super panjang, aku jelas menyadari kalau keadaan hati dan pikiran Amalia belum tenang.

Apalagi saat tak ada suara apa pun yang Amalia katakan padaku. Juga calon istriku yang tak mau menatapku. Maka aku sudah pasti tahu, kalau Amalia memang sedang kentara sekali ingin menghindariku.

"Kamu beneran marah sama Mas? Iya?"

Pertanyaanku membuat Amalia langsung mengeratkan pelukannya pada Arshilla. Seakan ajuan pertanyaanku begitu mengganggu keadaannya.

"Pulang, Mas."

"Tapi nggak baik kalau pulang masih dalam keadaan salah paham, Amel. Selesaikan dulu. Ya? Biar lebih tenang."

"Pulang, Mas. Hari ini, kita udah banyak banget berkegiatan dari pagi. Dan sekarang, aku mau istirahat. Capek."

"Amel ..."

Panggilanku disela oleh calon istriku, yang sampai saat ini tak mau menatapku. "Pulang, Mas. Sekarang. Antar aku terlebih dahulu."

Helaan napasku kembali datang. "Kamu kenapa sebenarnya? Hm? Kalau memang kamu marah, bilang. Ngomel aja sama Mas, nggak papa. Jangan diam seperti ini dong. Kamu nggak biasanya kaya gini. Orang dewasa, menyelesaikan masalah dengan bicara. Uraikan semua alasannya. Bukan diam, tapi terus-terusan memendam kekesalan seperti ini. Nanti, masalah yang harusnya bisa cepat selesai, malah jadi semakin besar dan merembet ke mana-mana. Dan Mas nggak mau kalau itu sampai terjadi. Apalagi marahan sama kamu. Mas nggak mau."

Tapi kalimat panjangku sama sekali tak bisa meredakan kekesalan besar yang sedang Amalia rasakan. Karena calon istriku benar-benar tak mau menatapku dan malah balik memberikan ancaman.

"Pulang, sekarang. Atau aku akan turun dan cari taksi, lalu aku pulang sendiri."

Meremat kuat kepalan tanganku di atas kemudi, aku sungguhan tak mau kalau aku terus bersitegang dengan Amalia sampai seperti ini.

Jadi segera tancap gas, kemauan dan ancaman Amalia saat ini tak akan aku turuti. Sebab semua bentuk salah paham ini harus bisa segera selesai terlebih dahulu, dan jangan sampai berlarut-larut dan mengganggu keharmonisan hubungan kami.

Aku tidak mau kalau terus bersitegang seperti saat ini. Karena rasanya benar-benar tak nyaman sekali.

"Aku bilang, antar aku dulu, Mas."

Aku diam saja.

Dan membiarkan Amalia serta semua bentuk protesnya.

"Mas. Pulang. Aku mau istirahat. Jadi cepetan, belok. Antar aku dulu."

Aku tetap bungkam.

Laju mobilku juga tetap stabil menuju rumah Ardiaz dan Alya.

"Mas Agam kenapa si? Mau buat aku jadi semakin marah? Iya?"

Ku eratkan lagi pegangan tanganku pada kemudi mobilku, sedang berusaha sangat keras untuk tetap menjaga kesabaranku.

"Justru karena Mas nggak mau kalau kita jadi sampai marahan. Makanya, Shilla dulu yang Mas antar."

"Nggak, Mas. Antar aku pulang. Aku dulu yang harus pulang. Atau aku beneran akan turun dan pulang sendiri."

Mobil langsung aku kunci. Supaya Amalia tak bisa pergi ke mana-mana lagi.

"Mas!"

Biarkan.

Tak apa kalau Amalia semakin bersungut-sungut padaku. Asal Amalia tetap ada di sisiku. Sebab aku tak mungkin membiarkan Amalia pergi dalam keadaan memendam amarah padaku.

Prawira Laksamana ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang