1. Dia, Luna

1.3K 105 22
                                    

Interaksi - Tulus

Manalah kutahu datang hari ini
Hari di mana ku melihat dia
Yang tak aku bidik, yang tak aku cari

♪ ♪ ♪ ♪ ♪

Halo. Perkenalkan namaku Mattheo Alejandro. Nama panggilanku, Matt, harusnya. Namun, teman-teman lebih suka memanggilku Ale, karena nama Matt terlalu kebarat-baratan untuk wajahku yang khas tipikal Asia, kata mereka. Sejujurnya, aku tidak terlalu paham bagaimana cara menulis kalimat pembuka yang baik untuk sebuah cerita, jadi kuputuskan menulis perkenalan seperti di atas.

Cerita ini merupakan kejadian sekitar delapan tahun silam. Aku tidak terbiasa menulis buku harian. Namun, kuusahakan untuk merangkum setiap hal yang penting dan membekas bagiku, dalam satu buku yang sedang kalian baca saat ini. Ini tentang pertemuan antara aku, dengan seseorang yang hadirnya mampu membuat hidupku berjumpalitan begitu hebat, sampai aku tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan basa-basi seperti, "How's life?"

Waktu itu, aku sudah aktif kuliah lagi, setelah sempat cuti satu tahun. Kecelakaan motor yang dialami Papa, mengakibatkan patahnya tulang kaki beliau, sehingga harus menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan selama pemulihan. Selama itu juga, aku yang merawat, sekaligus mengelola showroom mobil antik miliknya. Kami tinggal berdua, dan hanya bisa mengandalkan satu sama lain. Maka dari itu, aku yang harusnya sudah semester tujuh, sekarang baru menginjak semester lima. Namun, itu bukan masalah sama sekali. Bagaimanapun, kesehatan Papa lebih penting.

Aku berjalan di sepanjang koridor kampus lantai dua, menuju ruang studio musik. Sedari aku menjadi mahasiswa baru, aku langsung bergabung dalam UKM Band tanpa ragu. Aku cinta musik. Saking cintanya dengan musik, ketua UKM Band yang dulu, memilihku untuk menggantikannya setelah ia lulus. Entah apa yang jadi pertimbangannya sehingga yakin menunjuk aku. Mungkin karena aku punya kemampuan perfect pitch yang tidak dimiliki oleh semua orang. Tidak bermaksud untuk sombong, tetapi memang benar bahwa aku bisa dengan cepat mengetahui nada atau kunci dari sebuah lagu. Alasan lain mengapa aku yang terpilih, mungkin juga karena di antara yang lain, aku paling cerewet jika menangkap perpaduan nada sumbang dari alat musik yang kami mainkan.

Bunyi gemerincing kunci yang kugunakan untuk membuka pintu studio, tampaknya tertangkap oleh telinga seorang gadis yang sedang duduk bersila di lantai, tak jauh dari sana. Ia buru-buru berdiri sambil memasukkan headset ke dalam kantong jaket, lalu berlari kecil menghampiriku.

"Permisi, Kak," ucapnya menghentikan langkahku di ambang pintu.

"Saya Luna, dari UKM Jurnalistik. Bisa minta waktunya sebentar, Kak, untuk keperluan wawancara?"

Seingatku, belum pernah ada sesi wawancara seperti ini. Mungkin memang ada beberapa hal yang berubah selama aku cuti kuliah, tetapi aku tidak bertanya lebih jauh karena sedang buru-buru. Band kami akan mengisi di sebuah kafe, sementara Rian, si drummer, meninggalkan stik drum-nya di studio, saat kami latihan kemarin. Kebetulan, hanya aku yang kuliah sampai sore hari ini, jadi ia memintaku untuk mengambilnya. "Sorry, gua nggak bisa sekarang," kataku singkat, lalu segera masuk ke dalam.

Setelah menemukan apa yang dicari, aku segera keluar dari sana. Gadis itu, yang tadi mengaku bernama Luna, ternyata masih menunggu di depan pintu.

"Kak, maaf, sebentaaar aja. Boleh ya? Nggak lama kok."

"Sorry, tapi gua beneran harus pergi sekarang," ucapku sambil mengunci pintu.

Ia masih belum menyerah. "Maaf, kalo saya lancang, tapi saya bener-bener minta tolong, Kak. Besok deadline pengumpulan bahan interview-nya."

Aku mulai terusik. "Kalo udah tau deadline-nya besok, kenapa baru hari ini mau interview?" Heran, kenapa orang suka sekali menunda pekerjaan, lalu terbirit-birit ketika tenggat waktunya sudah dekat?

Romantic Interlude [END]Where stories live. Discover now