8. Sepasang Kekasih

316 56 15
                                    

Fix You - Coldplay

When you're too in love to let it go
But if you never try, you'll never know
Just what you're worth

♪ ♪ ♪ ♪ ♪

Hal apa yang menjadi dasar dari sebuah hubungan resmi? Resmi berpacaran, resmi menikah. Apa yang mendasari itu? Cinta? Menurutku, meresmikan sebuah hubungan adalah bentuk dari egoisnya manusia, bukan cinta. Kalau kalian tidak setuju, terserah. Namun, begini pendapatku. Ada orang yang berpacaran hanya untuk membanggakan diri, mengejar pengakuan bahwa ia ‘laku’ dibanding teman-teman lajangnya. Ada juga yang menjadikan pasangan sebagai pelampiasan nafsu saja. Memperdaya lawan jenis hanya untuk mendapatkan apa yang diinginkan, lalu ditinggal setelahnya. Pada kasus lain, orang meresmikan hubungan supaya ia dengan bebas mengatur pasangan sesuai dengan keinginannya. Itu pacaran. Menikah juga begitu. Memaksakan diri untuk membangun bahtera rumah tangga hanya karena perjodohan, faktor usia, serta takut mendengar gunjingan orang jika memilih untuk tidak menikah, bukan karena sudah siap. Ada lagi, menikah supaya tidak merasa kesepian. Itukah yang dinamakan cinta? Bukankah seharusnya cinta tidak cuma berpusat pada diri sendiri saja?

Cinta itu lemah lembut, setahuku. Bukannya memperlakukan pasangan seenaknya seperti kejadian yang berlangsung agak jauh di depan mataku. Seorang laki-laki baru saja membentak seorang perempuan, yang kuduga adalah kekasihnya karena ia menyebut ‘babe’, cekcok mengenai sesuatu entah apa—telingaku gagal menangkapnya, lalu dengan kasarnya laki-laki itu menarik—atau lebih tepatnya menyeret lengan gadis itu untuk ikut pergi bersamanya. Itukah yang dinamakan cinta?

Banyak pasangan berpisah dengan alasan cinta telah pudar. Aku ingin tertawa sekencang-kencangnya. Kalau memang bisa pudar, kenapa bisa dijadikan fondasi sebuah hubungan? Yang namanya fondasi itu harus kuat, bukan sesuatu yang mudah sirna dimakan waktu. Lantas, kembali ke pertanyaan awal, hal apa yang seharusnya menjadi dasar dari sebuah hubungan resmi?

“Ale!” Luna menepuk bahuku kencang, menghentikan pikiranku yang baru saja melalang-buana. Kami sedang berada di kantin Fisip, mendiskusikan lagu yang akan dinyanyikan pada drama musikal yang akan berlangsung tepat di malam Valentine. Tentang Luna harus bernyanyi di bagian mana, kapan suaraku masuk, kunci apa yang sesuai dengan suara kami berdua, dan lagu apa saja yang kami nyanyikan secara solo.

“Dipanggil dari tadi, malah bengong. Ngelihatin apa sih?” Matanya mengikuti arah pandangku, tetapi tidak menemukan sesuatu yang menarik.

“Kenapa ya cowok bisa kasar ke cewek? Ceweknya lagi. Pacarnya sendiri.”

Gadis itu mengerutkan dahinya. “Maksudnya?”

“Tadi, ada pasangan, kayaknya lagi berantem. Terus, si cowok dengan kasar narik tangan ceweknya, pergi.”

“Mungkin, ceweknya salah kali,” jawab Luna sembil mengangkat bahu.

“Salah apaan sih, sampai harus pakai kekerasan fisik? Cowok yang suka kasar ke cewek kayak gitu lebih pantas disebut penjahat daripada kakek-kakek yang terpaksa mencuri supaya cucunya bisa sekolah.”

Perlahan, Luna menggosok punggung tangannya yang tertutup cardigan oversize sambil merenung. “Belum tentu juga dia jahat, Le. Siapa tau, itu memang cara dia untuk nunjukkin kasih sayangnya. Sebagai pengingat supaya ceweknya berubah, nggak melakukan kesalahan yang sama. Kalo gitu, berarti ‘kan untuk kebaikan ceweknya juga.”

Aku sungguh tidak mengerti dengan pola pikir gadis di sebelahku. "Lo membenarkan perbuatan si cowok?" tanyaku lalu mendengus dan tertawa. "Gua kirain woman support woman. Lagian, kalo lo di posisi ceweknya, emang lo mau diperlakukan kayak gitu?"

Ia menatapku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan setelah kulontarkan pertanyaan tadi. Alih-alih memberi jawaban ya atau tidak, Luna justru menjawab, "Kayaknya setiap orang punya cara masing-masing dalam menjalani dan mempertahankan sebuah hubungan, Le. Kita sebagai orang luar, nggak punya hak untuk ikut berkomentar."

"Gua cuma bingung aja. Kenapa hubungan yang harusnya penuh dengan kasih sayang, malah diisi dengan menyakiti orang yang disayang?"

"Pikiran dan perasaan manusia itu rumit, Le. Kita nggak pernah benar-benar bisa mengenal seseorang. Jangan ke orang lain dulu deh. Kita aja belum tentu kenal sama diri sendiri. Gua ambil contoh pasangan yang lo bilang tadi. Setiap tindakan pasti ada penyebabnya. Kita nggak tau apa aja yang udah dialami si cowok, sampai dia bisa berbuat kayak gitu. Mungkin dari apa yang dia pelajari di lingkungan keluarga, pergaulan, atau memang udah karakternya begitu dari lahir, genetik, siapa tau? Atau dia sendiri pernah diperlakukan kayak gitu, makanya dia melampiaskan ke orang lain. Dan mungkin si cowok juga nggak ngerti kenapa dia berbuat kayak gitu, spontan aja. Siapa tau juga, sebenarnya dia tau hal itu salah, dia lagi mencoba untuk perbaiki sifatnya, tapi selalu gagal. Nggak ada yang tau, Le."

Penjelasan Luna yang panjang-lebar membuatku butuh beberapa saat untuk mencerna. Ia belum pernah bicara sepanjang ini, mengutarakan pikirannya.

"Gua yakin nggak ada orang yang mau disakiti. Sebagai cewek, gua juga nggak mau diperlakukan kayak cewek tadi." Luna menjawab pertanyaanku sebelumnya. "Tadi, lo sendiri yang bilang kalo hubungan harusnya penuh dengan kasih sayang, dengan cinta. Mungkin itu yang buat si cewek tadi mau bertahan. Karena dia cinta sama pasangannya. Kayak kata almarhum Gombloh di lagunya, 'Kalau cinta sudah melekat, tahi kucing jadi rasa cokelat.'"

Kami berdua tertawa akan lelucon jadul yang mendadak disematkan oleh Luna, di antara rentetan kata-kata serius.

"Tapi," sambung gadis itu lagi. "Cinta nggak selamanya menang. Kalo rasa sakit yang dia dapat lebih banyak daripada rasa cinta yang dia punya untuk pasangannya, dia akan tau kapan harus berhenti. Berhenti berjuang. Berhenti mencintai."

Masih kupandangi Luna tanpa berkedip sampai ia berdeham. “Anyway, gua tuh tadi mau nanya ini ke lo,” kata Luna sambil menunjuk buku catatannya. Di sana tertulis lirik lagu Be Our Guest, soundtrack dari film Beauty and The Beast.

“Mm, kenapa?”

“Liriknya panjang banget. Beneran nggak boleh bawa catatan ya di panggung?” keluhnya untuk yang ke sekian kali.

“Nggak. Makanya lo hafalin dari sekarang.”

Luna menggerutu sambil menutup wajahnya dengan buku.

Waktu itu, aku terpukau akan setiap kata yang meluncur dari bibir Luna. Merasa seperti mendapat pengetahuan baru mengenai masalah percintaan. Bagaimana ia bisa menilai segala sesuatu tidak hanya dari satu sudut pandang saja. Ada begitu banyak kemungkinan di dunia ini yang mempengaruhi seseorang untuk bertindak atau meresponi sesuatu. Selama ini, aku tidak pernah peduli akan hal itu. Apapun yang kulihat di depan mata, aku sudah langsung memberikan penilaian saat itu juga tanpa mau tahu akan sebab-akibatnya. Kekagumanku pada gadis itu bertambah karena ia sudah membuka pikiranku.

Sampai akhirnya rasa kagum itu menguap tak bersisa ketika aku tahu sebuah kebenaran. Apa yang Luna ucapkan ketika kami di kantin Fisip hari itu, adalah kisahnya sendiri.

Romantic Interlude [END]Where stories live. Discover now