7. Kepercayaan Diri

323 55 13
                                    

Scars To Your Beautiful - Alessia Cara

Oh, she don't see, the light that's shining
Deeper than the eyes can find it

♪ ♪ ♪ ♪ ♪

Setiap manusia punya jalan hidup masing-masing yang telah ditentukan oleh Sang Pencipta. Siapapun mengerti akan hal itu. Namun, namanya juga manusia, pasti akan ada saatnya kita tergoda untuk melirik kehidupan orang lain, lalu menginginkannya. Bukan karena tidak mensyukuri apa yang kita punya. Kadang, kita hanya ingin mencicipi sebentar saja, hal-hal yang belum pernah kita miliki atau rasakan sebelumnya.

Luna tidak pernah berkata bahwa ia sangat menginginkan sosok seorang ayah dalam hidupnya, tetapi sorot matanya berbicara demikian. Terutama ketika ia sedang asyik mendengarkan cerita Papa tentang masa mudanya, yang telah diceritakannya berulang kali kepada Shaga, Dave, Gilang, Rian, dan aku sendiri tentunya. Rumahku seringkali digunakan sebagai tempat Lumière berkumpul, untuk membahas project band, atau sekedar mengobrol santai melepas penat. Papa tak pernah sungkan untuk duduk bersama kami, ikut menimbrung bahkan memberi ide atau masukan. Beberapa kali, ia menyelipkan jokes bapak-bapak, yang selalu masuk dengan selera humor kami. Makanya beliau jadi akrab, bahkan dianggap penasehat band Lumière. Hari itu, kami habis berdiskusi mengenai project drama musikal, maka Luna ikut bergabung.

"Berarti dulu pas jadi anak band, banyak yang ngejar dong, Om?" tanya Luna antusias, sementara yang lain sudah hafal dengan cerita Papa.

"Oh, iya dong. Kadang kalo abis manggung, ada yang kasih hadiah, bunga, atau surat dari cewek-cewek," sahut Papa bangga, disambut senyum lebar oleh Luna.

"Om suka bawain lagu apa?"

Papa berpikir, mengingat-ingat. "Kebanyakan lagu ciptaan sendiri. Kalo lagu orang, biasanya lagu-lagu MLTR."

"Nyanyi dong, Om, lagu MLTR, aku yang iringin." sambung Dave yang dengan sigap mengambil gitar akustik milikku, yang tadinya kami pakai untuk mencari chord yang pas dari lagu-lagu yang akan dibawakan saat pentas nanti.

Tentu saja Papa bersemangat. "Ayo, That's Why You Go Away, bisa?"

"Ah, kecil." Setelah itu, Dave langsung memainkan nada intro lagu. Disusul oleh suara merdu Papa, lalu perlahan diikuti oleh kami, persis seperti anak tongkrongan. Menyanyi sambil gitaran, hanya kurang pisang goreng dan kopi saja.

Saat masuk bagian reff, Luna memecah, mengambil suara dua. Warna suara gadis itu mempercantik harmonisasi lagu gagal move on milik MLTR. Pernahkah kalian mendengar seseorang bernyanyi, lalu dibuat merinding oleh suaranya? Aku sama sekali tidak bermaksud melebih-lebihkan. Itulah yang kurasakan.

"Waduh, Lun, enak suaramu itu. Kapan-kapan manggung aja kita sama Lumière, biar Matt istirahat dulu di rumah." Matt, panggilanku sebenarnya, kalau kalian lupa.

"Orang tua nggak boleh keluyuran malam-malam tau, Pa. Masuk angin nanti," balasku, yang lain tertawa, lalu mengatakan bahwa aku anak kurang ajar.

"Nggak lah, Om. Suara aku biasa aja kok," kata Luna setelah tawanya reda.

"Kata siapa? Emang ada yang bilang suaramu biasa aja?"

Aku yakin Papa tidak serius saat bertanya seperti itu, hanya bercanda. Siapa sangka, kami justru mendengar jawaban serius meluncur dari mulut Luna, yang sukses membuat kami melongo.

"Ada. Jo bilang suara aku biasa aja. Katanya, masih banyak yang lebih bagus dari aku. Ya, emang iya sih."

"Jo siapa?" tanya Papa dengan dahi berkerut.

Tanpa menggubris pertanyaan Papa, Shaga bertanya, "Serius Jo bilang gitu, Lun?"

Luna mengangguk.

"Kayaknya ada yang salah deh sama kuping cowok lo, Lun," timpal Rian, diikuti anggukan Gilang.

Romantic Interlude [END]Where stories live. Discover now