20. Istirahat

217 33 4
                                    

Fix Me Up - Fin Argus ft. Sabrina Carpenter

Stay with me just one more moment
I know you're in pain, just please don't show it

♪ ♪ ♪ ♪ ♪

“Gua mau naik itu,” tunjuk gadis di sebelahku kepada wahana Halilintar di Dufan. Ia menepati janji. Seperti menggunakan topeng kasat mata, wajahnya berseri-seri sejak aku menjemputnya di rumah. Oh ya, untunglah Mama sedang ke kantor sehingga aku tidak perlu bertemu dengannya. Aku belum siap. Menurut penuturan Luna, sejak kejadian di rumah sakit waktu itu, ia sering mendengar Mama menangis diam-diam kalau sedang ada di rumah, makanya Mama jadi lebih gila-gilaan bekerja. Beliau jadi sering lembur bahkan di hari libur. Entah karena memang beliau juga butuh waktu menyendiri atau karena Luna masih sungkan untuk banyak bicara padanya. Sama seperti keadaanku dan Papa, Luna dan Mama juga sama canggungnya.

“Ayok.” Gadis itu langsung menarik tanganku untuk ikut mengantre.

Ketinggian adalah musuh terbesarku, Luna tidak tahu akan hal itu. Aku juga tidak menolak ketika ia membawaku kepada wahana itu. Meski ia sempat menggodaku ketika tanganku terasa dingin di genggamannya dengan berkata, “Kok tangan lo dingin? Takut ya?”, aku justru terkekeh dan membalas, “Nggak. Masa naik ginian aja takut?” Tidak, aku bukan bersikap sok-sok-an di depannya. Aku mengelak karena memang butuh naik ke sana. Ada ganjalan besar dalam dadaku yang perlu dikeluarkan melalui teriakan kencang agar aku bisa bernapas sedikit lega. Aku tidak bisa berteriak di mana saja tanpa menjadi pusat perhatian, maka wahana pemacu adrenalin ini adalah tempat yang tepat. Kalau kutebak, mungkin Luna juga berpikir hal yang sama. Sebab, tidak hanya Halilintar, setelahnya pun ia memilih wahana Hysteria, juga Tornado. Umpama dua jiwa rapuh yang sedang meraung dan mengemis kepada Sang Pencipta agar dibangunkan dari mimpi buruk. Permohonan itu kami selipkan pada setiap pekikan yang diserukan di udara.

Permainan selesai. Meski perut serasa diaduk, kepala masih berputar, setidaknya kami berdua bisa tertawa dengan lepas setelahnya, lalu memilih wahana lain yang lebih santai. Hari itu, di taman bermain terbesar di Jakarta, kami adalah dua orang yang saling mencintai, sedang bergandengan tangan, sesekali melempar senyum dan lelucon, menjalani hari seperti di cerita fiksi bahagia, menyingkirkan kejamnya realita untuk sementara waktu.

Setelah puas bermain, kami menuju Sea World, pergi ke akuarium besar, salah satu tempat favoritku sejak kecil. Berjalan di sepanjang lorong yang dilapisi kaca bening, membuat aku seakan berada di bawah laut, dikelilingi berbagai macam jenis hewan yang berenang ke sana kemari. Mataku sedang menjelajah seisi akuarium, lalu berhenti pada Luna. Gadis itu tampak mengamati, tapi tidak benar-benar memperhatikan. Sorot matanya redup, tidak ada yang bisa menebak apa yang sedang berjalan di dalam kepalanya.

"Lo capek ya?" tanyaku sambil meremas bahunya.

Luna memandangku beberapa saat. Saat itu, aku sama sekali tidak menyadari bahwa pertanyaanku mungkin bermakna ganda. Capek secara fisik, atau secara psikis. Ia mengangguk dengan matanya yang sayu. Saat itu aku masih belum sadar bahwa bisa jadi itu adalah jawaban untuk dua-duanya.

"Ya udah, abis ini kita cari show aja yuk." Aku melirik jam tanganku. "Nah, pas banget sebentar lagi bakalan ada Feeding Show," kataku menyebut salah satu pertunjukkan para penyelam memberi makan para biota laut, yang bisa disaksikan melalui akuarium utama.

Senyum gadis itu merekah kembali selama pertunjukkan berlangsung. Rasanya, sudah lama sejak terakhir kali aku melihat senyuman itu. Dalam hati, aku berharap waktu berhenti saat itu juga karena takut jika suatu saat tidak bisa menikmati pemandangan ini lagi.

Waktu terus berlalu. Tanpa terasa, matahari hampir menuju tempat peristirahatannya. Kami berdua duduk di atas gundukan pasir pinggir Pantai Ancol, menjadi teman bagi sang surya menyelesaikan tugasnya menyinari bumi. Keadaan pantai cukup ramai oleh beberapa pasangan dan keluarga yang sedang menghabiskan hari libur di akhir pekan. Debur ombak berbaur dengan pekikan riang anak-anak. Ramai, berbanding terbalik dengan atmosfer di antara aku dan Luna. Kami memilih duduk tenang menikmati suasana.

Romantic Interlude [END]Where stories live. Discover now