5. Putri Kerajaan

368 65 4
                                    

I See the Light - Mandy Moore ft. Zachary Levi (From "Tangled")

All at once everything looks different
Now that I see you

♪ ♪ ♪ ♪ ♪

"Halo, guys!" Sapaan riang membuat kami berlima menoleh ke pemilik suara yang sedang berlari kecil, lalu menyamakan langkah kakinya bersama kami. Gadis itu sedang memasang sebuah senyuman palsu yang berhasil menipu siapapun, termasuk aku.

"Wah, si wartawan ke mana aja nih?" tanya Rian.

Beberapa kali mengikuti aktivitas UKM Band, membuat Luna juga semakin akrab dengan Lumière. Ia yang awalnya masih kaku dan sungkan pun sekarang lebih luwes ketika berbicara. "Biasalah, sibuk," jawabnya dengan wajah angkuh.

"Sombong amat. Sibuk apa sih? Gua semester tiga masih banyak main," ujar Gilang.

"Itu mah lo doang yang males," balasku, kemudian disambut tawa oleh Luna.

Kami sedang berjalan menuju ruang studio musik, sambil berbincang ringan. Oh, ya, hari itu Luna mengenakan kacamata baru lagi.

Gadis itu masih menjadi penonton setia ketika kami berlatih, mengulik dan mempelajari lagu Happy-nya Pharrell Williams dan aku baru membuka pembicaraan dengan pertanyaan ringan ketika semua sudah pulang. "Ke mana aja lo, jarang kelihatan?"

"Tugas kelompok gua lagi banyak banget, Le. Kelompoknya beda-beda lagi, jadi repot sendiri ngatur jadwalnya," keluhnya.

"Gua kirain lo bakal ngeliput kita di Dies Natalis kemarin. Soalnya pas kita latihan 'kan lo ikut mulu."

Luna tertawa kecil. "Iya, kebetulan kata Kak Jenny, dua orang aja yang ngeliput keseluruhan acara, jadinya gua nggak ikutan deh. By the way, ada project baru nggak, Le?"

"Kalo Lumière belum ada sih. Kalo band yang lain, bakal ngisi acara BEM sama HIMA," kataku sambil mematikan sound system. Berbeda dengan BEM yang ruang lingkupnya per fakultas, HIMA adalah Himpunan Mahasiswa yang ruang lingkupnya lebih kecil, yaitu per jurusan. "Tapi, beberapa hari lalu, anak teater nawarin Lumière untuk collab sama mereka," sambungku lagi.

"Oh ya? Kapan?"

"Gua masih belum terima tawarannya. Masih bingung. Mereka angkat tema 'Can You Feel the Love Tonight', yang isinya beberapa dongeng percintaan punya Disney. Semacam drama musikal, tapi dilakukan terpisah gitu. Anak teater yang main drama, Lumière sebagai main vocal dan ngiringin pake musik, dibantu juga sama UKM Padus (Paduan Suara) juga untuk backing vocal-nya."

"Dengar plan-nya aja gua yakin bakal bagus banget deh. Lo tau sendiri mereka kalo udah perform tuh nggak main-main. Digabung sama Lumière pasti bakalan pecah, percaya sama gua. Lo terima dong, biar gua kebagian ngeliput, tanpa harus rebutan tiket sama mahasiswa lain," cerocos Luna tanpa bisa dicegah, lengkap dengan mata berbinar.

Aku diam, memikirkan kata-kata gadis itu, ketika ia mengoceh lagi, lebih kepada dirinya sendiri. "Disney ya? Ck. Kira-kira ada cerita Tangled nggak ya? Rapunzel, Eugene, dan lagu I See The Light. Ah, the most romantic scene ever."

Sudut bibirku tertarik ke atas kala melihatnya berdialog seorang diri dengan pandangan menerawang. Kutarik sebuah kursi, mengambil tempat di sampingnya, lalu bertanya, "Sesuka itu sama Rapunzel?"

Luna mengangguk antusias. "Dari semua film tentang princess di Disney, gua paling suka Tangled."

"Oh ya? Kenapa?"

"Snow White, seorang putri kerajaan yang berjodoh dengan pangeran. Aurora, terbebas dari kutukan karena ciuman dari orang asing, yang kebetulan seorang pangeran. Belle, paling realistis sebenarnya. Penampilan fisik pasangan nggak penting, yang penting hartanya." Ia terkekeh. "Bercanda. Terus, Cinderella, Ariel, dan pangeran mereka, kena sindrom love at the first sight. Tapi, kisah Rapunzel nggak gitu. Jodohnya, si Flynn Rider, yang sebenarnya punya nama asli Eugene Fitzherbert, bukan seorang pangeran, malah maling yang lagi jadi buronan. Dan cinta di antara mereka, tumbuh perlahan seiring dengan petualangan yang mereka lewati berdua. Tanpa memandang materi, juga status sosial. Proses jatuh cinta seharusnya begitu 'kan, biar bisa happily ever after?" jelasnya panjang lebar seperti seorang mahasiswi yang sedang melakukan presentasi di depan dosen.

Sedari tadi aku menyimak dengan serius karena tidak sudi kelewatan satu patah kata pun dari mulutnya, kemudian sontak mengerjapkan mata beberapa kali ketika gadis itu bertanya di ujung kalimatnya. Satu hal yang kupercaya, istilah happily ever after hanya terjadi dalam dunia dongeng saja, bukan di dunia nyata, apalagi duniaku. Namun, alih-alih membeberkan segala penilaianku, aku hanya mengedikkan bahu. "Gua nggak ngerti soal cinta-cintaan," jawabku singkat, lalu beralih pada, "Eh, tadi lo nyebut lagu, lagu apaan?"

"Hm? Lagu apa?"

"Yang lo bilang 'the most romantic scene ever'.

"Oh, I See The Light."

"Gimana tuh lagunya? Nyanyiin dikit dong." Aku ingin tahu bagaimana lagu itu, sekaligus ingin tahu juga bagaimana suaranya.

Luna mengeluarkan ponsel dari sakunya. "Bentar, gua cariin d-"

"Ya elah, nyanyi dikit aja," pintaku setelah merebut ponsel dari tangannya.

Gadis itu memasang wajah seperti anak kecil yang enggan makan sayur ketika dipaksa ibunya, dengan mata yang menyipit tajam.

"Nggak apa-apa. 'Kan cuma gua yang denger," desakku lagi.

"Tapi lo jangan komentar apa-apa ya," pintanya setengah mengancam.

"Iya."

"Beneran ya?"

"Iya."

"Pokoknya kalo lo komen-"

"Iya, Luna. Gua nggak bakal ngomong apa-apa."

Ia menghela napas panjang sebelum mulai.

"And at last I see the light. And it's like the fog has lifted. And at last I see the light. And it's like the sky is new. And it's warm and real and bright. And the world has somehow shifted. All at once everything looks different. Now that I see you."

Bisa doang, tapi nggak bagus-bagus amat. Aku ingat dia pernah bilang begitu ketika kutanya apakah ia bisa menyanyi. Suara Luna yang barusan kudengar memang tak semegah diva papan atas. Namun, ia jelas punya warna suaranya sendiri. Lembut, tetapi tegas. Unik. Tipikal suara yang sangat ampuh mengayun-ayunkan perasaan, jika ia menyanyikan lagu-lagu dengan tempo lambat seperti tadi.

"Selama hidupnya, Rapunzel cuma punya satu keinginan, melihat lentera dari dekat, bukan cuma dari jendela kamar, tepat di hari ulang tahunnya. Eugene yang bantu Rapunzel mewujudkan semua itu, meskipun awalnya terpaksa karena barang curiannya ditahan sama Rapunzel. Di malam waktu mimpi Rapunzel terwujud, keduanya juga jadi sadar akan perasaan masing-masing, didukung sama lagu tadi. Begitulah alasan kenapa scene itu jadi kesukaan gua," Luna kembali bercerita setelah ia bernyanyi.

"Lun, lo tau kenapa gua nggak langsung terima tawaran anak teater soal project drama musikal ini?"

Gadis itu menggeleng.

"Yang jadi tokoh utama tuh si princess-nya. Tapi lo tau sendiri di UKM Band belum ada vokalis cewek. Kalo lo mau nyanyi bareng, gua bisa sih terima tawaran mereka. Gimana?"

Ia mengusap belakang lehernya. "Hmm... Kayaknya nggak deh, Le. Gua pasti tugas ngeliput." Ia berusaha mengelak. Namun, jangan panggil aku Ale, jika aku tidak bisa memenangkan perdebatan.

"Kalo lo nggak mau, ya terpaksa harus gua tolak tawarannya. Jujur aja, gua nggak punya banyak waktu untuk mencari penyanyi cewek untuk bergabung dalam project ini. Lagian, yang tugas ngeliput bukan cuma lo. Anak jurnalistik pasti ada yang kebagian tugas ngeliput UKM teater 'kan?"

Ia diam, tahu bahwa ucapanku benar dan tak bisa disangkal.

"Lo nggak sendirian, Lun. Ada gua dan anak-anak. Beban di atas panggung tuh nggak lo tanggung sendiri, tapi bareng-bareng. Lo punya kemampuan, harusnya lo tunjukkin itu ke semua orang, sayang kalo disimpan sendiri." Aku berusaha membujuknya.

Saat ia menggigit bibir bawahnya, aku tahu bahwa gadis itu sedang menimbang. Itu sudah bagus. "Gua... pikir-pikir dulu ya."

Aku mengangguk. "Kalo bisa, besok udah ada keputusan ya. Biar kita bisa langsung buat jadwal latihan." Sengaja kusiratkan tentang jadwal latihan agar ia tahu bahwa aku hanya mengharapkan jawaban 'ya' darinya.

Romantic Interlude [END]Where stories live. Discover now