2. Benih Kekacauan

627 77 16
                                    

Everything Has Changed - Taylor Swift ft. Ed Sheeran

All I know since yesterday
Is everything has changed

♪ ♪ ♪ ♪ ♪

Sebuah kedai kecil di seberang kampus menjadi tempat langganan untuk mengisi perut sebelum latihan, sambil menunggu jika di antara kami yang masih ada kelas kuliah. Dave menghisap sebatang rokok seraya memeriksa pesan masuk dari para kaum hawa di ponselnya. Jika ada yang bilang bahwa ruang obrolan seorang gitaris seperti asrama putri, aku akan langsung membenarkan. Bermodalkan paras dan kemahirannya memetik senar gitar, tak heran jika ia punya banyak penggemar yang kebanyakan wanita.

"Jadi kapan mau promosi?" tanya Dave begitu ia mematikan rokok pada asbak yang tersedia di meja.

"Minggu depan. Senin di FE, Selasa di FT, Rabu di Fisip, Kamis di FH. Itu jadwal promosi untuk dua minggu," jawabku. Kalau kalian belum tahu, akan aku jelaskan kepanjangan dari beberapa singkatan di atas. FE adalah Fakultas Ekonomi, FT adalah Fakultas Teknik, Fisip adalah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, dan FH adalah Fakultas Hukum. Di universitas tempat kami kuliah, semua fakultas memiliki gedung yang berbeda. Maka dari itu promosinya harus berpindah-pindah. Promosi ini ditujukan untuk mencari bakat-bakat baru yang bisa jadi penerus band di kampus, terutama setelah kami semua lulus. Pemilihan anggotanya akan dilakukan dengan sistem audisi dan diutamakan untuk mahasiswa baru.

Dalam UKM Band sebenarnya sudah terdapat dua band yang terbentuk, selain Lumière. Satu band yang berisikan mahasiswa semester tiga, dikoordinasikan oleh Shaga. Satu lagi beranggotakan mahasiswa semester lima dipegang oleh Dave. Semua anggota berasal dari jurusan yang berbeda-beda. Saat ini kedua band tersebut sedang fokus berlatih untuk lomba yang diselenggarakan oleh salah satu sekolah musik terbesar di Indonesia. Jadi, Lumière yang turun tangan untuk kegiatan promosi.

"Gua udah list beberapa lagu yang bakal dibawain. Kita fix accoustic-an 'kan?" Kali ini Gilang, sang bassist yang bertanya, kemudian kubalas dengan anggukan mantap.

Tak lama kemudian, Shaga datang bersama Jenny memesan nasi goreng telur serta dua gelas es teh tawar dan duduk bersama kami.

"Le, nanti Luna nyamperin lo ya. Jangan galak-galak." Jenny memperingati.

"Lah, katanya waktu itu udah mau deadline. Ini udah mau lewat seminggu, gua kirain batal interview-nya."

"Enak aja batal. Gua minta tolong banget ya sama lo, bantuin Luna, jangan ditolak lagi. Cukup gua aja yang lo tolak mentah-mentah," ejek Jenny lalu tertawa puas, membuat teman-teman yang lain ikut terkekeh.

Masa lalu yang semestinya tidak perlu diungkit lagi. Tentang Jenny yang sempat pantang menyerah mendekatiku, menyatakan perasaannya, sampai memohon agar aku mau menjadi kekasihnya. Jenny itu tipikal perempuan spontan dan frontal. Selama keinginannya belum tercapai, ia akan melakukan segala cara tanpa peduli pandangan orang lain. Aku sudah menolaknya dengan bahasa paling halus sampai bentakan kasar. Namun, gadis itu tetap pada pendiriannya. Sampai akhirnya, di tengah kegalauan, Jenny menemukan tempat untuk bersandar sekaligus melabuhkan hatinya, Shaga, yang sekarang resmi menjadi kekasihnya. Kadang, takdir bisa selucu itu.

Menjalin sebuah hubungan bukan menjadi prioritas dalam hidupku. Ada sebuah alasan yang membentuk pribadiku seperti sekarang. Akan kuceritakan nanti di bagian yang tepat.

Gadis bernama Luna itu telah duduk di depan ruang studio saat kami sampai di sana. Ia segera bangkit berdiri, menyapa Shaga singkat, lalu kembali bersikap formal ketika berkata kepadaku, "Siang, Kak. Kalo hari ini saya interview Kakak, boleh?"

"Abis latihan nggak apa-apa?"

Wajahnya berubah sumringah. "Nggak apa-apa, Kak."

"Ya udah masuk dulu," ajakku.

Sementara aku dan yang lain sedang bersiap-siap, Dave, si pecinta wanita, sibuk menginterogasi Luna sambil menyetem gitarnya. Aku sendiri sedang mengatur sound system ketika menangkap pembicaraan mereka.

"Namanya siapa?"

"Luna, Kak."

"Gua Dave," sahut Dave percaya diri tanpa ditanya. "Kalo nama lengkap?" sambungnya lagi.

"Eleanor Aluna."

Dave mengangguk-angguk. "Cakep namanya. Semester berapa?"

"Semester tiga, Kak, akuntansi."

"Udah punya pacar?" Pertanyaan jitu seorang Dave setiap kali berkenalan dengan perempuan.

Gilang mendecak, "Dave, Dave, cewek lo udah banyak, masih juga."

Yang disindir tidak menggubris celetukan Gilang, lebih tertarik menunggu jawaban Luna. Gadis itu membenarkan letak kacamatanya sebelum menjawab, "Udah, Kak."

Sebuah tawa puas keluar dari mulut Shaga. "Mending lo jauh-jauh deh. Awet banget dia sama pacarnya mah."

Sudut mataku tak sengaja menangkap gestur Luna yang menunduk tanpa menunjukkan ekspresi apapun setelah perkataan Shaga tadi. Mungkin ia tak nyaman jika hubungan pribadinya dibicarakan di depan orang yang belum dikenalnya, pikirku meskipun ternyata realitanya tak sesederhana itu.

"Sound check!" Aku berseru untuk mengalihkan fokus mereka kembali pada jadwal latihan.

Masing-masing dari mereka, memainkan alat musiknya secara bergantian. Setelah dirasa pengaturan suara dari masing-masing alat musik telah sesuai porsinya, aku duduk di depan stand mic. "Lagu pertama apa, Lang?" tanyaku.

"Mantan terindah."

"Yah si Gilang. Sedih banget pilihan lagu lo," celetuk Dave

"Mentang-mentang nge-fans sama Raisa," ujar Rian tak mau kalah.

"Berarti gua nyanyi di hmmm..." Aku sedang meraba-raba dalam pikiran untuk mencari nada atau kunci dasar yang sesuai dengan suaraku ketika sebuah suara asing ikut menimbrung.

"Raisa nyanyi di chord F, berarti kalo suara cowok harusnya di C kayak versinya Kahitna," ucap Luna membuat kami semua terpaku beberapa saat. Merasa tak enak dipandangi seperti itu, ia berdeham dan berkata pelan, "...kalo nggak salah sih."

Keheningan masih menyelimuti studio beberapa detik setelah ia berkata-kata. "Wow! Gua cuma jago gebuk doang, nggak begitu paham soal kunci-kunci, tapi omongan lo cukup meyakinkan." Aku mendengar Rian mulai bersuara, sementara mataku masih melekat pada Luna. Perkataan gadis itu tepat sasaran. Jujur saja, egoku sedikit tersentil. Kemampuan perfect pitch yang kupunya, masih kalah cepat dengan seorang gadis yang baru bergabung di anggota jurnalistik. Kurasa sejak saat itu juga, sebagian kecil dari diriku jadi ingin tahu lebih banyak tentang siapakah Eleanor Aluna sebenarnya. Seandainya saja, aku mengabaikan rasa penasaran itu, mungkin segalanya tidak berubah menjadi rumit. Sebuah rahasia besar yang telah disimpan rapi oleh seseorang, tidak akan terkuak, lalu menyakiti semua orang. Rahasia yang lebih baik menjadi rahasia selamanya.

Romantic Interlude [END]Where stories live. Discover now