15. Adegan Romantis

258 39 0
                                    

I Just Couldn't Save You Tonight - Ardhito Pramono and Aurelie

Falling in love is a new world for me
Do you wanna be my company?

♪ ♪ ♪ ♪ ♪

Coba beri tahu bagaimana caraku berhenti menaruh hati pada seorang Luna, jika ia terus-menerus membuatku terkesima? Apapun yang dilakukan gadis itu selalu mengundang perhatian.

Sudah beberapa minggu aku tak berkunjung ke rumah Luna di akhir pekan seperti biasanya karena kesibukan masing-masing. Jadwal yang tak bertemu. Aku memang sudah berhenti manggung di kafe sejak teman-temanku mulai mendapat pekerjaan. Aku sendiri sudah melepas seluruh kegiatan organisasi. UKM Band juga sudah dipimpin oleh ketua yang baru. Yang perlu kupikirkan sekarang hanya kuliah, serta menyelesaikan semua tugas yang semakin menggila. Namun, ketika aku sedang tidak dikejar tenggat waktu, justru Luna yang pergi kerja kelompok, atau menghabiskan waktu bersama mamanya yang sedang pulang, walau hanya tiga hari. Ia ingin memanfaatkan waktu sebanyak-banyaknya dengan sang mama. Kami hanya sempat bertatap muka saat makan siang di kantin Fakultas Ekonomi, kadang di Fisip setiap hari Selasa dan Kamis.

Makanya ketika di hari Minggu, aku dan Luna bisa kembali menjalani rutinitas seperti sebelumnya, rasanya senang bukan main. Jadi, beginikah jatuh cinta? Udara pagi jadi terasa lebih sejuk ketika mengendarai motor menuju rumah Luna. Matahari bersinar terang, seakan mendukung suasana hati yang cerah. Burung-burung di udara saling bersahutan seolah memberi pesan “Selamat bersenang-senang,” padaku. Untuk pertama kalinya aku berterima kasih kepada siapapun yang menciptakan helm karena memang benda itu sangat berguna. Selain melindungi kepala dari benturan jika terjadi kecelakaan, siapa sangka helm juga bisa menutupi wajahku yang tidak berhenti senyum-senyum sendiri sepanjang perjalanan, agar tidak dianggap gila.

Siapa sangka, senyum itu masih awet sampai ketika Luna sedang fokus membuat panekuk sebagai menu sarapan. Ia mengikat rambutnya ke atas, menyisakan beberapa anak rambut yang jatuh menutupi leher bagian belakang. Celemek yang ia kenakan sudah dinodai oleh tepung terigu di beberapa tempat. Ia mengaduk adonan hingga rata sebelum menuangkannya ke dalam teflon. Kemudian, gadis itu menghela napas panjang dan berdecak.

“Le,” panggilnya tanpa menoleh kepadaku yang sedang bertopang dagu memandanginya.

“Ya?”

“Lo perhatiin gua nggak sih?”

“Perhatiin.”

Ia menghela napas lagi. “Maksudnya, lo perhatiin gua bikin pancake-nya nggak sih? Katanya lo mau belajar.”

Oh. Aku tersentak, menegakkan tubuh, mengalihkan mataku pada penekuk yang baru saja dibalik oleh Luna. “Iya, gua perhatiin kok dari tadi. Udah mau jadi ‘kan ini?” elakku gugup sambil menggaruk tengkuk.

Segala makanan dalam bentuk apa saja yang dibuat oleh Luna, cocok dengan seleraku. Bagiku, tidak ada komentar lain untuk hasil buatan tangannya, selain kalimat pujian yang kusimpan dalam hati karena gengsi.

Padahal hanya perkara makanan. Hanya dua buah panekuk yang disiram oleh sirup maple. Akan tetapi, karena dibuat dan dimakan bersama Luna, dengan lancangnya pikiranku pergi terlalu jauh. Pasti menyenangkan rasanya jika tiga puluh tahun lagi, kami masih duduk berhadapan di meja makan, menikmati panekuk di pagi hari. Lalu, akan kudengarkan gadis itu— oh, kurasa tiga puluh tahun ke depan, ia bukan seorang gadis lagi— bercerita tentang tetangga, masalah anak-anak kami, politik, skandal artis-artis, apa saja. Ya, walaupun yang sedang ia ocehkan di Minggu pagi waktu itu hanya seputar dosen yang menyebalkan, dan Jonathan yang akhirnya berhenti mengganggu Luna. Baguslah, gadis itu bisa hidup lebih tenang.

Ah, kalau dipikir-pikir, mana layak aku merancang hidup beberapa tahun ke depan bersama Luna. Hubungan ini saja masih krisis identitas meskipun kami berdua sudah mengakui perasaan masing-masing. Sebut aku pengecut, karena tidak siap melangkah ke tahap pacaran. Aku belum mau terikat. Tolong jangan salah mengerti. Belum mau terikat bukan berarti aku akan mencampakkan Luna dan bebas bermain api dengan gadis lain. Coba bayangkan, jika kedua tanganmu terikat dengan kencang, lalu karena satu dan lain hal, tali yang mengikat itu putus. Apa yang kau dapatkan? Hanya bekas luka dengan warna kemerahan yang tertinggal di pergelangan tangan. Namun, ikatan dalam sebuah hubungan, berpaut dengan perasaan. Luka fisik, setidaknya masih bisa disembuhkan. Kalau perasaan yang terluka, harus dengan cara apa lagi aku mengobatinya? Kapan sembuhnya? Atau jangan-jangan luka itu tidak akan mengering meski dimakan waktu.

Romantic Interlude [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang