3. Jurnalis dan Narasumber

453 72 14
                                    

Dive - Ed Sheeran

You're a mystery
I have traveled the world,
there's no other girl like you
No one, what's your history?

♪ ♪ ♪ ♪ ♪

Latihan selama dua setengah jam berjalan dengan lancar dan menyenangkan seperti biasanya. Kami pun mulai berbenah. Sebuah aturan yang tidak dapat diganggu gugat dalam UKM Band adalah memastikan keadaan studio rapi seperti sebelum latihan. Maksudnya adalah mengembalikan semua alat musik pada tempatnya, mencabut semua kabel dari stop kontak lalu menggulungnya rapi, serta membersihkan semua sampah, seperti baterai kosong bekas pakai, plastik bungkusan senar yang baru dibeli, dan semacamnya.

Satu per satu anggota Lumière berpamitan pulang, menyisakan Luna yang masih berkutat dengan ponselnya sembari menunggu aku mematikan beberapa lampu di studio, kecuali bagian belakang dekat pintu. Aku lekas mengambil sebuah kursi dan duduk di hadapannya ketika semuanya sudah beres.

"Jadi, mau nanya apa?"

Gadis itu buru-buru membuka catatan kecil yang sudah dipegangnya sejak tadi. Lalu, ia membuka kembali ponselnya dan berkata dengan hati-hati, "Kak, kalo nggak keberatan, saya izin rekam ya."

Aku mengangguk. "Tapi, bisa biasa aja nggak?" tanyaku ketika ia sudah menekan tombol rekam suara.

Luna menatapku heran.

"Maksudnya, kayak ngobrol biasa aja. Nggak usah pake bahasa yang kaku gitu. Lo dari kemaren ngomong sama gua kayak ngomong sama dosen killer soalnya. Santai aja kali."

"O-oh, iya, Kak."

"Oh satu lagi. Ale aja. Gua nggak terbiasa dipanggil 'Kakak'."

"Oke, Ale." Luna mengambil napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. "Masa perkuliahan untuk angkatan baru udah jalan hampir dua minggu. Beberapa organisasi kemahasiswaan dan UKM lagi gencar-gencarnya mencari anggota baru. Kalo UKM Band gimana? Lagi proses rekrutmen juga atau malah udah ada anggota baru yang terpilih?"

"Rencananya mulai Senin depan kita bakalan promosiin UKM Band di setiap gedung fakultas, sekaligus open recruitment. Senin di FE, Selasa-nya di FT, Rabu Fisip, Kamis FH. Selama dua minggu. Yang latihan barusan, itu buat promosi nanti."

"Kalo sistem pemilihan anggotanya gimana?"

"Masih sama kayak tahun-tahun sebelumnya, pake sistem audisi. Semua peserta yang udah isi formulir pendaftaran, bakal kita jadwalin waktu audisinya. Untuk alat musik, kita sediakan. Pokoknya tinggal dateng bawa diri dan persiapan sebaik mungkin karena cuma akan terpilih satu orang untuk masing-masing bagian."

"Jadi nanti orang-orang itu akan dibentuk jadi satu band?"

"Bener, cuma ada satu band untuk setiap angkatan."

"Ini for your information aja, tapi tahun ini UKM Jurnalistik ada jadwal siaran untuk radio kampus setiap hari Selasa sama Jumat. Belom mulai sih, tapi rencananya bulan ini bakal jalan. Kalo kalian mau, bisa juga promosi lewat situ."

Aku berpikir sejenak sambil menimbang. "Boleh juga. Nanti gua diskusiin sama anak-anak deh. Makasih buat tawarannya."

Luna tersenyum singkat lalu kembali menatap buku catatannya. "Pertanyaan terakhir. Dari semua UKM, kenapa kita harus pilih UKM Band? Apa yang membuat UKM Band lebih unggul daripada UKM lain?"

"Hmm. Nggak harus juga sih, tapi kalo lo punya kemampuan bermusik atau nyanyi, dan merasa enjoy di bidang itu, nggak ada salahnya gabung sama kita. Menurut gua, berkumpul dan membicarakan hobi kita dengan orang yang hobinya sama itu menyenangkan. Kita bisa ngulik lagu atau bikin aransemen bareng, sehingga kemampuan kita nggak stuck di situ aja. Pengetahuan dan skill bermusik jadi bertambah kalo diasah terus."

Gadis itu mengangguk. "Setuju." Ia menutup bukunya lalu berkata, "Oke. Gua rasa itu dulu. Oh ya, kalo misalnya gua ngeliput pas kalian promosi, nggak apa-apa?"

"Silahkan."

"Terus..." Ia sengaja menggantung kalimatnya beberapa detik sebelum melanjutkan dengan nada ragu-ragu, "Kayaknya gua bakal sering ganggu lo gini deh buat keperluan tabloid kampus. Soalnya gua ditugasin untuk tau dan meliput semua kegiatan UKM Band selama setahun ini. Lo keberatan nggak?"

Apa aku punya pilihan lain? "Kalo gua keberatan, Jenny pasti nggak bakal berhenti ngomel. Males gua dengarnya."

Luna tertawa kecil, menganggap aku bercanda. Padahal, aku sedang mengatakan hal yang sebenarnya.

"Ya udah kalo gitu, interview-nya udah selesai. Makasih ya, Le."

Semestinya, berhenti sampai di sana saja. Luna menjalankan tugasnya sebagai jurnalis, aku sebagai narasumber. Namun, karena rasa penasaran yang masih menggelitik dari sejak kami mulai latihan, sampai selesai menjalankan sesi wawancara dengan Luna belum juga reda, aku malah berinisiatif bertukar posisi.

"Kalo udah, sekarang gantian gua yang nanya."

Ia sedang memasukkan buku catatan dan ponsel ke dalam tas dan kegiatannya berhenti ketika mendengar ucapanku. Mata Luna melebar dibalik kacamatanya. "Nanya apa?"

"Lo ngerti banget sama musik?"

"Nggak juga, cuma suka dengar musik aja."

Jawaban yang sama sekali tidak menimbulkan rasa puas untukku. Seseorang yang cuma sekedar suka mendengar musik, tidak mungkin mau repot-repot mempelajari kunci dasar dari sebuah lagu. "Pernah belajar musik?" cecarku lagi.

Ia menggeleng. "Dulu cuma sempat les vokal pas SMA, tapi nggak lama, berhenti."

"Lo bisa nyanyi dong?"

"Ya... bisa doang, tapi nggak bagus-bagus amat."

Entah kenapa jawaban ragu dan ambigu dari Luna justru membuat rasa penasaran dalam diriku semakin besar. "Pernah ikut audisi band atau paduan suara?" tanyaku lagi, berusaha menggali lebih dalam.

"Nggak. Waktu awal masuk kuliah, gua aktif di BEM, terus tahun ini pindah ke Jurnalistik."

"Kenapa nggak kepikiran gabung ke band atau paduan suara gitu?"

Ia menggaruk tengkuk lehernya. "Gua kurang percaya diri untuk tampil di depan banyak orang dan jadi pusat perhatian."

Akhirnya kutarik sendiri kesimpulan dari percakapan kami barusan. Mungkin sebenarnya ia memiliki bakat bermusik atau bernyanyi, yang sengaja tidak mau ditunjukkannya karena kurang percaya diri.

"Oh ya, satu lagi. Gua nggak bermaksud untuk menggurui, tapi karena kebetulan gua anak komunikasi dan belajar sedikit tentang jurnalistik, ada hal yang perlu lo tau. Seorang jurnalis itu tugasnya mengumpulkan fakta dengan berinteraksi langsung dengan narasumber, bukan langsung percaya sama opini."

Dahi Luna otomatis berkerut mendengar celotehanku. Ia tidak paham.

"Waktu itu, kenapa udah mepet deadline, lo baru nemuin gua?"

Ia menunduk dan menggigit bibir bawahnya. "Gua takut sama lo, tapi karena deadline-nya udah mepet, mau nggak mau harus nemuin lo."

"Padahal lo kenal gua juga nggak. Kenapa takut? Karena omongan orang-orang yang bilang gua jutek, galak, apalah itu?"

"Sorry, gua memang udah parno duluan pas dengar nama lo," cicitnya pelan sambil cengengesan merasa bersalah.

Aku menghela napas dan menatapnya sejenak, sadar bahwa tidak ada lagi yang perlu dibahas, lalu, "Ya udah lah. Udah lewat juga. Yok, balik."

Kami serempak bangkit dari kursi dan keluar bersama dari studio. Kumatikan saklar lampu sebelum menutup pintu.

"Ale, gua balik duluan ya. Makasih buat waktu lo hari ini."

Aku mengangguk sambil mengunci pintu. Luna segera menghampiri seseorang lelaki yang rupanya sudah menunggu di depan studio. Gadis itu tampak terbirit-birit, sementara sang lelaki sesaat menatap Luna dan aku bergantian dengan sorot mata yang tajam. Apa-apaan maksud tatapannya itu? cibirku dalam hati. Kubalas tanpa berkedip, sampai ia lebih dulu memutus kontak mata kami. Itu kali pertama aku bertemu Jonathan, kekasih Luna.

Romantic Interlude [END]Where stories live. Discover now