4. Hilang Sementara

432 66 5
                                    

Just You - Teddy Adhitya

Like the ocean so complexly beautiful
I wanna dive so deep
I wanna hear your story

♪ ♪ ♪ ♪ ♪

Pertemuan antara aku dan Luna semakin sering terjadi sejak aku mengizinkannya untuk meliput dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai UKM Band. Beberapa kali ia bergabung ketika kami sedang latihan, sebagai penonton. Di lain hari, ia muncul ketika kami sedang manggung di lobby fakultas. Lalu di lain waktu, ia ikut menghadiri acara lomba band yang diadakan sebuah sekolah musik, di sebuah mall, yang pernah kubahas waktu itu.

Tugasku, Shaga, dan Dave adalah mendampingi sekaligus mengamati permainan para adik-adik tingkat itu di atas panggung. Sementara Luna sibuk mengarahkan kamera DSLR-nya dan menjepret momen ketika dua band dari universitas kami sedang tampil.

Suatu saat, aku pernah pergi ke sebuah pantai di daerah Lampung Selatan, bersama Papa ketika liburan sekolah. Pantai Marina, namanya. Perjalanan menuju ke sana cukup jauh karena harus melewati pemukiman warga dengan jalan kecil dan bebatuan. Karena kendaraan tidak bisa melaju cepat, perjalanan menuju pantai Marina akan memakan waktu sekitar satu jam-an dari ibukota Bandar Lampung. Namun, ketika disambut lautan biru di balik bukit, rasa penat dan lelah selama perjalanan jadi terbayarkan. Ombak putih yang bergulung, sinar matahari yang memantul bagai permata di perairan, menambah kecantikan tempat wisata itu. Bagiku pribadi, pemandangan pantai Marina bagaikan lukisan indah yang biasanya hanya bisa kita nikmati dari mesin pencarian Google.

Menurutku, Luna itu seperti pantai Marina. Dengan pembawaannya yang lugu, serta penampilannya yang sederhana, firasatku mengatakan bahwa ia menyimpan sesuatu yang luar biasa. Hanya saja, butuh waktu yang cukup lama untuk mengetahuinya. Entah bagaimana, aku merasa seperti itu. Celetukan gadis itu mengenai chord lagu Mantan Terindah hanya sebagian kecil yang tidak sengaja terekspos. Sepertinya, hal itu juga yang menjadi alasan aku tidak merasa keberatan diganggu ketika ia butuh bahan untuk tulisannya. Karena aku pun masih masih ingin menggali informasi lebih banyak dan butuh jawaban untuk memecahkan teka-teki tentang seorang Luna.

Ada dua kebiasaan gadis itu yang secara tak langsung menyangkut dalam pikiranku. Pertama, ia suka bergonta-ganti kacamata. Sampai di hari perlombaan ini, setidaknya sudah tiga kali ia mengganti benda yang bertengger di hidungnya itu. Pikiran naifku menganggap itu adalah hal biasa yang mungkin dilakukan oleh perempuan seumuran kami. Kedua, ia selalu mengenakan pakaian lengan panjang. Kemeja lengan panjang, sweatshirt, atau outer berupa jaket dan kardigan. Aku sempat bertanya-tanya sendiri, bagaimana caranya ia nyaman mengenakan setelan seperti itu di tengah panasnya hawa kota Jakarta. Tapi, kembali lagi, aku tidak berpikir jauh, mungkin ia memang suka model berpakaian seperti itu.

"Lo balik sama siapa?" tanyaku pada Luna ketika acara selesai dan nama pemenang sudah diumumkan. Salah satu band dari universitas kami berhasil meraih juara dua.

"Gua bisa naik ojek online."

"Oh, oke."

"Jo nggak jemput?" sahut Shaga menanyakan perihal Jonathan, kemudian dibalas gelengan kepala dari Luna.

"Jangan naik ojek online lah. Bahaya udah malam gini." Dave menimpali, Shaga juga setuju. Jujur saja saat itu aku merasa jadi lelaki paling tidak berakhlak karena dengan santainya mengiyakan seorang perempuan pulang malam-malam naik ojek online, padahal aku yang membuka pertanyaan.

"Udah, gua aja yang antar. Lagian rumah lo juga searah sama gua," tawar Dave pada Luna.

"Eh, jangan, Kak. Nggak usah. Gua naik ojek online aja aman kok." Jika seseorang menolak tawaran kebaikan dari orang lain, biasanya karena tidak ingin merepotkan. Namun, nada penolakan dari Luna terdengar berbeda di telingaku. Raut wajahnya terlihat cemas dan gelisah. Shaga dan Dave tidak menangkap hal itu, membuatku ragu akan penilaianku sendiri. Apa hanya perasaanku saja?

"Udah nggak apa-apa. Lo tenang aja, gua bukan mau modus kok. Beneran karena mau nolongin lo aja. Kata bokap gua, nggak boleh ngebiarin perempuan pulang sendiri malem-malem. Kalo nggak percaya, telepon dia deh."

Gadis itu menggoyangkan tangannya. "Nggak, Kak, bukan gitu, tapi... gua beneran balik naik ojek online aja, nggak apa-apa."

"Ya elah, Lun. Mumpung si buaya ini lagi baik. Lagian benar kata dia. Mendingan lo balik sama dia, daripada sama orang yang nggak dikenal," kata Shaga.

Kali ini, aku hanya menjadi pengamat di antara mereka. Dipojokkan seperti itu, membuat Luna dengan berat hati menerima tawaran untuk pulang bersama Dave.

Sejak malam itu, Luna tidak menunjukkan batang hidungnya selama lebih satu minggu. Sebenarnya, bisa saja gadis itu memang tidak sedang mengumpulkan informasi terbaru mengenai UKM Band. Namun, rasanya ada yang mengganjal karena ia bahkan tidak meliput Lumière yang tampil di acara Dies Natalis (semacam perayaan ulang tahun universitas). Padahal, saat kami berlatih sejak beberapa minggu lalu, ia tidak pernah absen menjadi penonton di ruang studio.

"Dave." Akhirnya kuputuskan untuk bertanya pada Dave seusai acara Dies Natalis berakhir.

"Hm?"

"Pas lo ngantar Luna waktu itu, lo nggak..." Ah, bagaimana caranya bertanya tanpa menyinggung? "Nggak ngelakuin sesuatu yang buat dia merasa nggak nyaman 'kan?"

"Nggak lah. Gila lo. Emang gua ngapain?" protes Dave, seperti perkiraanku. Aku memang tidak pandai membelitkan kata-kata, dan langsung menyampaikan maksudku dengan gamblang.

"Ya, kali aja lo flirting atau apa gitu, terus dia nggak nyaman. Habisnya tuh anak tiba-tiba ngilang aja." Rasanya, aku tidak perlu menuntut dengan dugaan tanpa bukti seperti itu karena aku tahu benar perangai seorang Dave. Ia mungkin dijuluki buaya, pecinta wanita, you name it, tetapi ia sangat paham dengan batasan. Laki-laki itu tidak akan bermain api dengan seseorang yang telah memiliki pasangan.

Dave tiba-tiba menyadarinya. "Eh, iya juga ya. Dia nggak kelihatan lagi sejak malam itu."

"Lo ada salah ngomong kali?"

"Nggak ada ah. Orang pas di jalan aja kita diem-dieman. Bingung gua mau ngobrolin apa. Tiap ditanya, jawabannya titik, alias nggak bisa disambung lagi."

Aku masih termenung, ketika Dave bertanya lagi, "Emang kenapa lo nyariin dia?"

"Nggak apa-apa. Cuma nanya doang." Pertanyaan Dave sempat membuatku bertanya pada diriku sendiri. Kenapa lo nyariin dia? Iya, kenapa ya?

"Kalo nggak, lo tanya Jenny aja, mungkin dia tau," kata Dave lagi.

"Ngapain? Ah, udahlah buruan yok. Nanti mie ayam depan keburu habis." Buat apa aku sampai harus bertanya pada Jenny? Toh, tidak ada sesuatu mendesak, yang membuatku harus mencarinya. Lantas, kenapa aku bersikap seolah peduli?

Romantic Interlude [END]Where stories live. Discover now