18. Benang Kusut

198 34 0
                                    

Runtuh - Feby Putri ft. Fiersa Besari

Mengutuki diri
Tak bisa kembali
'Tuk mengubah alur kisah

♪ ♪ ♪ ♪ ♪

Dulu, waktu masih sekolah, aku punya satu teman akrab. Kami sekelas, selalu makan bersama di kantin saat jam istirahat, juga mampir ke warnet untuk bermain game online sepulang sekolah. Kami selalu bersama, tetapi nyatanya tidak terlalu dekat untuk saling berbagi cerita mengenai hal-hal pribadi. Lalu, suatu waktu aku menyadari bahwa ada yang berbeda dari sikapnya. Beberapa kali aku mendapatinya sedang melamun ketika guru sedang mengajar. Ketika jam istirahat pun, ia memilih untuk di kelas saja meskipun aku tahu ia sedang lapar. Ia selalu menolak ajakanku untuk pergi ke warnet. Aku kadang menanyakan alasannya, tetapi hanya kata 'malas' yang ia ucapkan. Jadi, aku berhenti bertanya dan mengabaikannya begitu saja.

Kemudian, beberapa minggu kemudian sebuah berita duka diumumkan melalui speaker sekolah. Ayah dari temanku meninggal dunia karena kanker hati. Saat berita itu datang, aku seperti mendapat pencerahan. Semua sikapnya yang membingungkan, mendadak jadi jelas. Ia melamun karena pikirannya terbagi antara pelajaran, juga keadaan ayahnya di rumah sakit. Ia berhenti jajan dan bermain di warnet karena ekonomi keluarganya sedang tidak baik-baik saja. Pengobatan untuk penyakit kanker hati pasti membutuhkan banyak biaya.

Seringkali begitu. Ketika sebuah kebenaran terungkap, otak kita secara otomatis akan memutar kembali beberapa peristiwa yang sebenarnya pernah kita tanyakan pada diri sendiri, namun kemudian diabaikan karena dirasa tidak terlalu penting. Lantas, saat kebenaran itu datang, kita hanya bisa berucap, "Oh, pantas saja."

Pikiranku sedang menyusun beberapa kepingan puzzle antara aku dan Luna, berdasarkan fakta mengejutkan yang baru saja kuketahui.

Oh, pantas saja nama belakang kami mirip. Mattheo Alejandro. Eleanor Aluna. Nama yang sepadan untuk sepasang kakak-adik.

Oh, pantas saja kami tertarik dengan dunia musik dan punya bakat bernyanyi. Papa kami adalah seorang musisi di masa mudanya.

Oh, pantas saja kami mempunyai kemampuan perfect pitch yang tak dipunyai semua orang.

Oh, pantas saja sifat kami sama. Keras kepala, tetapi tetap bisa mengalah demi satu sama lain.

Oh, pantas saja Rian waktu itu bercanda dan mengatakan wajah kami mirip. Ah, candaan itu sekarang sudah tidak terdengar lucu lagi, karena ternyata ucapan itu bukan hanya sekadar candaan biasa.

Oh, pantas saja Luna dengan mudahnya akrab saat pertama kali bertemu Papa. Mungkin ini yang disebut ikatan batin antara seorang ayah dan anak perempuan itu sangat kuat.

Oh, pantas saja ketika aku melihat foto yang dipasang Luna pada kontak 'Momma', tampak tidak asing bagiku. Begitulah perawakan Mama ketika pergi dan tak pernah kembali.

Oh, pantas saja ketika aku yang tertidur di kursi tunggu, aku merasa tidak asing dengan cara Mama dengan lembut memanggil dan membangunkanku. Aku merasa seperti pernah diperlakukan begitu, tapi aku tidak ingat kapan.

Oh, pantas saja… aku mudah menyayangi gadis itu.

Satu hal yang pasti, semuanya menjadi jelas. Bodoh, kenapa aku terlambat menyadarinya? Kalau aku bisa lebih peka sedikit saja, apa kenyataan ini akan jadi lebih mudah diterima?

Ah, aku benci sekali merasa seperti ini. Duniaku terasa gelap, sunyi, dan kosong. Bahkan, musik pun tidak bisa membantu. Macam-macam genre, dari pop, klasik, jazz, sampai rock sudah kudengarkan. Lagu-lagu menghibur milik Project Pop juga sudah berulang kali kuputar. Namun tidak ada yang benar-benar membuatku merasa lebih baik.

"Sejak kapan lo ngerokok?" Sebuah suara mengusir lamunanku.

Shaga, orang pertama yang terlintas dalam pikiranku saat aku mencari tempat pelarian sementara. Ia tinggal sendirian di sebuah apartemen milik keluarganya, yang tidak jauh dari kantor tempat ia bekerja. Aku menumpang di sana, entah untuk berapa hari.

Masih berbalut kemeja, celana panjang, dan sepatu pantofel, Shaga duduk di sebelahku, mengedarkan pandangannya pada beberapa puntung rokok yang sudah kuhabiskan, kemudian matanya kembali menatapku yang sedang menghisap satu batang lagi. Kami sedang berada di atap gedung apartemen ditemani pemandangan malam kota Jakarta. Gedung-gedung tinggi berhiaskan lampu, serta lalu lintas yang cukup padat di bawah sana.

"Dari SMA," jawabku singkat.

Shaga melonggarkan dasi yang ia kenakan, lalu membuka kancing atas kemejanya. "Oh ya? Gua baru tau. Tiap kita ngumpul, lo nggak pernah ngerokok."

"Pernah sekali ketauan bokap, gua diomelin abis-abisan. Sejak saat itu, nggak pernah nyentuh rokok lagi."

Ia mengangguk-angguk. "Dari kapan lo di sini? Nggak kuliah lo?"

Melihat sisa puntung rokok yang berserakan, aku yakin Shaga bisa menebak bahwa aku sudah berjam-jam duduk di sini. Jadi, aku hanya menjawab pertanyaan yang terakhir. "Nggak." Mana mungkin aku bisa konsentrasi kuliah kalau kepalaku rasanya ingin pecah. Untunglah nikotin yang kuhisap bisa sedikit meringankan pikiranku.

Sekotak rokok dikeluarkan Shaga dari sakunya. Menyelipkan sebatang di bibir, menghidupkannya dengan korek api. Kepulan asap dari rokoknya berembus di udara, menyatu dengan milikku. "Om Ben tadi telepon. Nanyain lo sama gua apa nggak, soalnya dia berkali-kali telepon lo, tapi nomor lo nggak aktif."

"Gua belum buka HP seharian ini. Lo jawab apa?"

"Ya, gua bilang iya. Masa bohong?"

Aku terkekeh pelan mendengar nada sewotnya.

"Sebenarnya ada apa sih, Le? Lo nggak pernah kabur-kaburan kayak gini sebelumnya."

Malam sebelumnya, sehabis kejadian di rumah sakit, aku menelepon Shaga, minta izin untuk menginap di tempatnya. Aku langsung pergi dan ketika sampai di apartemen, aku menyadari ekspresi heran Shaga melihat keadaanku yang berantakan. "Lo baik-baik aja?" tanyanya waktu itu, yang kujawab, "Sementara waktu, gua di sini dulu ya. Gua belum bisa pulang ke rumah." Setelah itu, Shaga tidak bertanya apa-apa lagi. Ia cukup tahu batasan dan tidak memaksa.

"Tapi kalo lo belum bisa cerita juga nggak apa-apa," kata Shaga lagi.

Aku menghisap benda berbahaya itu dalam-dalam, mengembuskannya pelan. "Apa arti keluarga buat lo, Ga?"

Shaga berdeham sejenak untuk berpikir. "Kalo kata lagu sih, harta yang paling berharga," jawabnya lalu tertawa kecil. "Tapi, ada benarnya. Menurut gua, saat kita kehilangan semua hal di dunia ini kayak, harta, tahta, wanita…" Sudut bibirku tertarik mendengar lelucon recehnya. "... kita pasti bakal bisa survive selama ada keluarga yang mendukung kita. Keluarga adalah harta yang paling berharga, makanya kalo sampai sesuatu yang berharga itu hilang dari hidup gua, rasanya gua nggak tau harus berbuat apa lagi."

"Itu yang gua rasain, Ga. Nggak tau harus berbuat apa. Selama ini, ketika ada masalah, sebesar apapun, gua selalu punya rumah untuk berpulang. Sekarang, semuanya berubah. Rumah yang tadinya jadi tempat gua berlindung, justru jadi sumber masalahnya. Kalo udah begitu, gua nggak tau mesti berlindung ke mana."

Kata demi kata yang terdengar pasrah, terlontar begitu saja. Yang membuat hatiku semakin berat adalah kenyataan bahwa bukan hanya aku yang merasa seperti ini. Gadis itu pun pasti merasakan hal yang serupa. Bagaimana rasanya dibohongi seumur hidup oleh seseorang yang sangat ia percaya? Ibunya sendiri. Luna hidup tanpa sosok ayah yang ia yakini sudah meninggal. Ia mendambakan kehidupan seperti anak-anak lain yang punya orang tua lengkap. Sudah begitu, bertemu dengan orang yang salah pula, Jonathan. Orang yang mengajarkan kasih sayang dengan cara yang paling buruk karena ia tidak pernah tahu bagaimana sosok ayah harus bersikap.

Satu desahan lagi keluar dari mulutku. Entah sudah yang ke berapa kali aku mendesah seperti ini demi melegakan sesuatu yang mengganjal di dalam hati.

Shaga menepuk bahuku. "Masih ada gua, anak-anak, yang udah anggap lo sebagai keluarga sendiri, Le."

Meski Shaga tidak tahu bagaimana kusutnya masalah yang sedang kuhadapi, tetapi kata-katanya sedikit memberikan perasaan tenang. Setidaknya, aku tidak sendiri. Saat itu, aku yang sedang sibuk membenahi hatiku, terlena dengan kalimat Shaga. Sampai aku lupa, ada yang sedang berjuang seorang diri. Tanpa keluarga, juga sahabat.

Romantic Interlude [END]Where stories live. Discover now