21. Hukuman

268 40 4
                                    

Against All Odds - Phil Collins

So take a look at me now,
oh there's just an empty space
And there's nothin' left here to remind me
Just the memory of your face

♪ ♪ ♪ ♪ ♪

Identitas apa yang pantas disematkan pada diriku? Ada tiga pilihan. Satu, anak durhaka karena membenci kedua orang tuanya. Dua, pemuda yang merasakan cinta terlarang pada saudara kandungnya. Tiga, pembunuh.

Masih jelas dalam ingatanku ketika aku segera menghubungi ambulans dengan tangan yang bergetar. Kemudian, kuhubungi Papa untuk segera bertemu di rumah sakit dengan menjelaskan keadaan Luna. Beliau sudah ada di sana bersama Mama ketika ambulans yang kutumpangi tiba dan langsung membawa tubuh gadis itu ke ruang gawat darurat . Dokter yang bertugas tidak mengizinkan kami untuk ikut masuk ke tempatnya memeriksa gadis itu.

"Luna kenapa, Matt?" tanya Papa dan Mama bersamaan dengan nada panik.

Jantungku berpacu cepat. Kepalaku menggeleng beberapa kali. Pikiranku mendadak kalut. Aku terduduk di kursi terdekat. "Nggak tau. Aku nggak tau kenapa Luna tiba-tiba..." Aku tidak mampu menyelesaikan kata-kataku sendiri. Aku tidak mengerti bagaimana gadis itu bisa tiba-tiba tidak sadarkan diri. Aku juga tidak mengerti mengapa sepanjang perjalanan, denyut jantung gadis itu semakin melambat.

Kemudian, dokter yang menangani Luna keluar dengan wajah lesu, langsung disambut oleh Papa dan Mama. Saat itu aku bersumpah tidak mau mendengar hal buruk keluar dari mulutnya. Tapi, itu sudah menjadi bagian tugasnya, ditambah lagi serbuan pertanyaan dari Papa dan Mama. Dengan berat hati ia mengucapkan kata maaf karena tidak bisa menyelamatkan Luna dan ikut berduka atas kepergian gadis itu.

Tubuhku membeku di tempat. Ini tidak nyata. Aku hanya mimpi buruk. Ini tidak nyata. Aku hanya mimpi buruk. Kurapalkan kata-kata itu berulang kali seperti mantra agar aku segera terbangun dari tidurku. Mana bisa aku terima kenyataan yang tidak masuk akal seperti ini. Luna baik-baik saja seharian bersamaku. Masa tiba-tiba saja ia...? Aku meremas rambutku dengan frustasi sementara Papa menenangkan Mama yang sedang menangis sambil mendengar penjelasan dari dokter yang sama-samar di telingaku. Aku kehilangan fokus. Suasana rumah sakit yang dingin pun jadi semakin menusuk hingga ke tulang.

Kemudian kudengar suara Papa memanggil, "Matt, sini dulu."

Dengan linglung kupaksa tubuhku untuk berdiri dan berjalan ke tempat mereka.

"Kamu habis dari mana sama Luna?" Ada yang tertahan dari nada Papa bicara.

"Dufan, main."

"Kalian naik wahana-wahana yang ekstrim, kayak roller coaster misalnya?" Sang dokter bertanya dengan tatapan menyelidik.

Perasaanku mulai aneh, tetapi tetap kujawab, "Iya, Dok."

Dokter tersebut mendesah. "Menurut dugaan saya, kemungkinan besar, itu yang membuat pembengkakkan di otaknya semakin parah, sehingga menghambat aliran darah ke otak."

Pembengkakkan otak?

Mama kembali merintih sambil memegang dadanya. Sementara Papa mengusap wajahnya tak sabaran. Tidak ada yang menyuarakan pertanyaan di dalam kepalaku. Ada apa lagi sebenarnya? Beberapa hari belakangan, aku merasa seperti orang bodoh. Seperti semua orang mengerti akan kejadian-kejadian yang luar biasa mencengangkan bagiku, dan hanya aku sendiri yang memasang tampang melongo.

"Sekali lagi saya turut berduka atas apa yang menimpa Bapak, Ibu, dan keluarga. Nanti beberapa perawat akan membantu menyiapkan jenazah untuk dibawa ke rumah duka," ujar dokter itu lagi, sambil menepuk pundak Papa dan Mama pelan sebelum ia berlalu.

Romantic Interlude [END]Where stories live. Discover now