14. Musim Hujan

190 40 1
                                    

This is How You Fall in Love - Jeremy Zucker and Chelsea Cutler

I had a nightmare
But now that I'm not scared

♪ ♪ ♪ ♪ ♪

"Water has memory," ucap Olaf si boneka salju kesayangan anak-anak di seluruh dunia. Barangkali, itu yang menyebabkan aku selalu duduk termangu tiap kali hujan mengguyur kota Jakarta. Menatap titik-titik air melalui jendela kantor, selalu menyeretku ke satu musim hujan yang tidak mungkin aku lupakan.

Hari itu, jam kuliahku dan Luna kebetulan selesai bersamaan. Beberapa hari sebelumnya, kami membuat janji untuk pergi ke toko buku sepulang kuliah. Gadis itu ingin mencari buku panduan untuk belajar gitar. Ia berkata, seorang penyanyi paling tidak harus bisa memainkan satu alat musik, dan gitar yang ia pilih.

"Kenapa gitar?" tanyaku di tengah perjalanan kami menuju toko buku.

"Biar kelihatan keren aja." Luna tertawa sebentar, lalu melanjutkan, "Di mata gua, cewek yang suaranya bagus dan bisa main gitar itu kerennya satu tingkat lebih tinggi daripada cowok."

Ia memintaku membantunya untuk memilih buku yang tepat. Setelah mendapat apa yang dicari, aku mengantarnya pulang. Langit sudah gelap meski masih menjelang sore hari. Suara gemuruh mulai terdengar. Baru saja gadis itu menjejakkan kaki di aspal, secara tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Mau tidak mau, aku menunggu hujan reda di rumahnya.

"Daripada bengong nungguin hujan berhenti, mending lo ngajarin gua main gitar aja, Le." Luna menghampiri, sekaligus menyuguhkan secangkir kopi hangat.

Cangkir itu kuterima. "Boleh. Mana gitarnya?"

Lantas, Luna mengacir ke kamar dan kembali dengan sebuah gitar yang baru saja ia beli.

Pelajaran dimulai dari mengenal enam senar gitar yang terdiri dari tiga senar string dan tiga senar nylon. Sebelum bermain, pastikan senar berbunyi sesuai nadanya, dengan urutan E, B, G, D, A, E, dari paling bawah ke atas. Setelah nada pas, aku mengajarkan bagaimana posisi jari kanan untuk memetik senar, sementara jari sebelah kiri yang menekan senar pada fret, serta teknik fingering terlebih dahulu untuk melemaskan jari tangan agar tidak kaku.

Sesekali, aku dibuat tersenyum geli oleh alis Luna yang berkerut dengan bibir mengatup, berusaha keras menekan senar menggunakan jari kelingkingnya. Kerutan itu semakin dalam ketika belajar memainkan kunci gitar, terutama kunci F.

"Gini 'kan, Le?" tanya Luna untuk yang ke sekian kali. Empat jari kirinya tampak sedikit bergetar. Jelas ia sudah menekan senar sekuat tenaga.

"Coba bunyiin," perintahku.

Saat gadis itu mulai menggenjreng gitar, hanya suara sumbang yang terdengar. Ia langsung mendesah kasar, aku terkekeh.

"Kenapa nggak bisa-bisa sih?" gerutunya.

Aku yang sebelumnya duduk di hadapan Luna, kini bergeser ke sebelah ke sebelah gadis itu.

"Coba lagi."

Ia menurut, menempatkan jari-jarinya di fret yang tepat. Lalu, kubantu menekan jarinya menggunakan jariku.

"Sekarang coba bunyi—" Kata-kataku tak sempat selesai karena terkesiap ketika aku menengok ke arahnya. Aku baru sadar bahwa jarak di antara wajah kami terlalu tipis. Suara jantungku bagaikan derap langkah kaki kuda di arena pacuan, ketika mata kami bertemu. Bahkan bunyi hujan serta guntur pun tak mampu menandingi.

Benar, aku sendiri yang mengatakan bahwa siap jatuh cinta artinya siap untuk berpisah. Benar, aku juga mengatakan tidak ingin merasakan kehilangan untuk kedua kalinya. Namun, saat matanya menatapku dalam, semua logika dan teori yang kuciptakan mendadak tak berguna. Semuanya digantikan oleh perasaan aneh yang awalnya samar menjadi jelas seketika.

"Gua nggak ngerti, kenapa gua selalu merasa begini setiap sama lo."

"Hm?" Gadis itu mengerjapkan mata dan memiringkan kepala.

"Mungkin... gua suka sama lo, Lun." Tidak ada hal lain yang bisa kupikirkan, selain mendeklarasikan perasaanku sudah tertahan entah sejak kapan.

Luna tampak tidak siap mendengar pengakuanku. Matanya kembali berkedip cepat dan terburu-buru menarik tangannya, kebingungan. Mulutnya terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu, tetapi ditutup kembali. Terbuka lagi. Tertutup lagi. Gadis itu berkata dengan terbata-bata, "Ng... Nggak... Nggak mungkin. Lo... pasti salah."

"Kenapa nggak mungkin?"

"Karena lo tau masa lalu gua, Le." Nada bicaranya berubah tinggi. Luna menunduk, menatap kedua tangannya, menghindari kontak mata denganku. Suaranya bergetar ketika bicara, "Lo tahu gua bukan cewek baik-baik—"

"Menurut gua, lo baik." Sengaja kupotong kalimatnya karena aku tahu ke mana arah pembicaraan ini.

Luna tertawa getir, menutupi kegelisahannya. "I'm not a virgin, dan masih banyak cewek yang bisa lo sukain selain perempuan murahan kayak g—"

"Apa itu penting? Gua nggak bilang, kalo gua suka sama virgin girl. Yang gua bilang, gua suka sama lo, Luna. Jangan pernah sebut diri lo sendiri perempuan murahan, karena lo sama sekali nggak kayak gitu."

Gadis itu mengusap wajah, menarik napas dalam-dalam. "Perasaan lo pasti keliru. Lo orang baik. Lo cuma simpati sama gua, Le."

Aku diam. Mencoba untuk merunut kembali bagaimana mulanya. Luna benar, dimulai dari rasa simpati. Sejak aku dengan ketus menolaknya mewawancaraiku, ditambah omongan Jenny soal ia yang sebenarnya takut padaku, secuil rasa iba muncul. Setidaknya ia sudah berusaha dan memberanikan diri untuk muncul di hadapanku, maka aku tidak perlu menyulitkannya lebih jauh. Kemudian rasa yang secuil tadi dibumbui oleh penasaran karena pengetahuannya tentang musik. Seiring berjalannya waktu, seakan diberi pupuk, belas kasihan mulai tumbuh ketika tahu latar belakang keluarganya, bagaimana ia berinteraksi dengan Papa, berujung pada hubungan tidak sehat yang ia jalani selama bertahun-tahun.

Namun, entah kapan tepatnya, perasaan ini berubah menjadi sesuatu yang lain. Sedikit demi sedikit. Atau jangan-jangan memang rasa yang asing ini sudah datang sejak awal, tetapi tertutup oleh rasa iba?

Kuraih sebelah tangan Luna. Kuletakkan di sisi leherku. "Kalo benar ini cuma rasa simpati, gimana caranya menjelaskan ini? Lo bisa ngerasain denyut nadi gua 'kan?"

Mulutnya bungkam.

"Selalu secepat ini, setiap gua lagi sama lo, Lun. Untuk urusan hati, gua yakin lo lebih paham daripada gua yang nggak berpengalaman sama sekali."

Gadis itu masih diam untuk beberapa saat, tetapi tatapannya melunak ketika merasakan debaranku. Mungkin ia ingin memastikan sebelum akhirnya melakukan hal yang sama. Perlahan, ia membawa tanganku ke sisi lehernya. Ia mengunci tatapannya pada kedua mataku. "Gua paham. Bukan karena berpengalaman. Tapi, karena sekarang gua merasakan hal yang sama."

Apa aku takut bahwa suatu saat ia mungkin pergi dari sisiku? Ya.

Apa aku takut bahwa suatu saat ia mungkin menambah goresan luka di batinku? Ya.

Apa aku takut bahwa suatu saat, aku akan menjalani hari-hari hampa jika ia tidak ada? Ya.

Kala aku merasakan detak yang berirama, perasaan yang sejalan, hati yang bertaut, semua rasa takut itu kutepikan untuk sementara. Kubiarkan hatiku dipenuhi bunga-bunga dengan kupu-kupu beterbangan di sekitarnya. Dinginnya udara karena hujan, tak menghalangi matahari dalam hatiku untuk bersinar terang. Mengalirkan kehangatan yang kurasakan sampai ke wajahku.

Mulai hari itu, aku tidak lagi meragukan apapun. Kubuka pintu hatiku lebar-lebar untuk Eleanor Aluna seorang, membiarkan ia tinggal di sana. Semakin hari, hatiku jatuh semakin dalam kepada gadis itu.

Sekarang, aku baru sadar bahwa deklarasi tentang perasaan masing-masing adalah kesalahan besar yang kami lakukan. Aku yang lebih salah. Seandainya, aku tidak memulai, mungkin kami tidak tersesat sejauh ini.

Romantic Interlude [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang