6. Keluarga

355 63 5
                                    

Amin Paling Serius - Sal Priadi ft. Nadin Amizah

Aku tahu, kamu tumbuh dari
Keras kasar sebuah kerutan
Sedang aku dari pilu, aman yang ternyata palsu
Juga semua yang terlalu baik

♪ ♪ ♪ ♪ ♪

Terhitung lima hari, Luna tidak menampakkan batang hidungnya. Lagi, gadis itu seakan menghilang. Meskipun kukatakan padanya untuk memberi jawaban mengenai drama musikal esok harinya, tetapi orang yang kutunggu tidak muncul juga. Saat itu, aku belum punya nomor ponselnya, jadi kuputuskan untuk menunggu gadis itu datang sendiri. Mungkin ia memang butuh waktu lebih lama untuk berpikir, tidak apa-apa. Selama apapun akan kutunggu asal ia bersedia, semoga saja. Jelas, aku juga belum menerima atau menolak tawaran dari UKM Teater.

Aku terburu-buru menuju ruang studio musik ketika jam di tangan menunjukkan pukul 15.20. Teman-teman sudah kukabari sebelumnya bahwa aku ada jadwal kerja kelompok. Jadi, kuminta mereka untuk tetap latihan seperti biasa dan akan kususul ketika tugas kelompok sudah rampung. Di koridor, samar-samar aku mendengar suara dentuman dari drum yang dipukul oleh Rian, ditemani oleh suara nyaring gitar listrik milik Dave, serta suara keyboard dan bass yang hampir tenggelam di antara keduanya. Namun, ada yang berbeda. Paduan musik itu tidak bermain sendiri, melainkan sedang mengiringi sebuah suara. Dahiku berkerut dari kejauhan, mengira bahwa telingaku salah mendengar. Semakin dekat, suara-suara alat musik itu semakin jelas. Juga suara sang penyanyi yang sepertinya seorang perempuan.

Kubuka pintu studio perlahan dan mataku langsung menangkap sosok Luna yang berdiri sambil memegang mic dan bernyanyi lagu Kiss Me milik Sixpence None The Richer dengan riang. Posisinya membelakangiku sehingga ia tidak menyadari kehadiranku, bahkan ketika Shaga mengangkat dagunya singkat mengisyaratkan sebuah sapaan. Aku bersandar nyaman di pintu sambil melipat kedua tanganku di depan dada, menikmati suara Luna yang memenuhi seisi ruangan. Gadis itu mengacungkan jari telunjuknya saat bagian reff akan berakhir, memberi tanda untuk kembali ke bait awal. Senyumku merekah, sambil menerka siapa di antara empat laki-laki ini yang berhasil membuat Luna mau bernyanyi satu lagu secara utuh, bahkan ia bersedia mengulang lagi dari awal. Kemarin saja aku harus memaksanya untuk menyanyikan bagian reff lagu I See The Light, itupun dengan wanti-wanti tak memberi komentar apapun.

Namun, aku tidak terlalu peduli bagaimana cara salah satu atau bahkan mungkin mereka berempat, membujuk seorang Luna. Melihat gadis itu lebih terbuka dan percaya diri untuk menampilkan sisi lain darinya saja, aku merasa ikut senang.

"... So kiss me." Aku menghadiahkan tepuk tangan meriah ketika gadis itu menutup lagu. Luna sontak menoleh dan tampak terkejut ketika aku berjalan menghampirinya.

"Gua nggak keberatan loh ninggalin Lumière kalo lo yang gantiin jadi vokalis," candaku membuatnya tersipu.

"Setuju tuh gua. Band ini emang harus ada ceweknya biar auranya lebih hidup," sambar Dave dibalas jitakan oleh Rian menggunakan stik drum miliknya. Aku dan Luna saling melempar tatapan sekilas, lalu tertawa.

Setelah aku datang, Luna duduk di belakang, tempatnya seperti biasa, mengerjakan tugas sembari menunggu latihan selesai.

“Hari ini mau interview lagi, Lun?” Kuhampiri Luna ketika yang lain sedang sibuk membereskan alat musiknya.

Ia mendongak, tersenyum, dan menggeleng. “Gua mau omongin soal drama musikal waktu itu. Maaf ya, baru sekarang gua nemuin lo.”

Aku berdeham sambil pura-pura berpikir. “Dimaafin atau nggak, tergantung jawaban lo. Bersedia atau nggak?” Jujur saja, aku juga sudah menyiapkan hati jika ia menolak dan akan menghormati keputusan itu dengan tidak memaksanya lagi. Namun, dengan tegas ia menjawab…

Romantic Interlude [END]Where stories live. Discover now