17. Fakta Pahit

266 41 19
                                    

Malibu Nights - LANY

I got way too much time to be this hurt
Somebody help, it's getting worse
What do you do with a broken heart?
Once the light fades, everything is dark

♪ ♪ ♪ ♪ ♪

Pagi sekitar jam delapan, aku dan Papa pergi menuju rumah sakit. Papa bersikeras membawa sekeranjang buah-buahan walaupun kubilang bahwa Luna sudah boleh pulang hari itu karena menurut kabar yang kuterima, hasil tesnya bagus.

"Om Ben!" sambut Luna girang begitu aku dan Papa masuk ke kamar tempat gadis itu dirawat.

Sementara Papa meringis melihat keadaannya, lalu meletakkan keranjang tadi di meja. "Aduh, kok bisa sampai begini sih, Lun?"

Gadis itu hanya cengengesan, tak menjawab pertanyaan beliau. "Om kenapa repot-repot datang ke sini? Sampai bawain buah juga."

"Nggak repot. Kamu tuh udah Om anggap kayak anak sendiri. Justru kalo nggak datang, Om bisa kepikiran terus sama keadaan kamu."

Gadis itu tersenyum tulus. "Makasih ya, Om."

"Lun, nyokap ke mana?" tanyaku begitu sadar bahwa ia sendirian di kamar.

"Lagi urus administra— tuh Mama," sahut Luna. Aku dan Papa serempak menoleh ke arah pintu.

Aneh. Kenapa Mama Luna memandangi kami seperti itu? Tubuhnya mematung, bibirnya melafalkan sesuatu tanpa suara. Awalnya aku tidak menangkapnya, tetapi…

"Ma, ini Om Ben, papanya Ale," ucap Luna.

"Ben…" gumam wanita itu. Ah! Benar. Bukankah tadi ia mengucapkan nama Papa? Maksudku, sebelum Luna memperkenalkannya. Bukankah sebelum gadis itu bicara, mamanya lebih dulu mengenali Papa? Mereka saling kenal?

Mataku beralih pada Papa yang diam seribu bahasa, tetapi matanya tak lepas dari Mama Luna.

Wanita itu berdeham, menatap Papa lurus-lurus. "Maaf, bisa kita bicara di luar?"

Papa mengangguk, membuntuti Mama Luna, meninggalkan kami berdua saling tatap dengan heran.

"Ngomongin apa ya, Le, sampai harus di luar gitu?"

Aku mengedikkan bahu, lalu mendekat ke arah gadis itu, mengusap kepalanya hati-hati. "Masih sakit?"

"Masih," jawabnya sambil memasang raut cemberut.

Mata Luna terlihat sembap. Kemungkinannya hanya dua. Ia menangis semalaman, atau memang kurang tidur. "Semalam bisa tidur?"

"Bisa, tapi nggak terlalu nyenyak karena kayak ada yang ganjal di kepala." Tentu saja ia akan menjawab begitu. Kalaupun ia tidak bisa tidur karena memikirkan masalahnya dengan Jonathan, aku yakin gadis itu pasti enggan mengatakannya. Aku sama sekali tidak menyalahkan sifatnya. Luna telah terbiasa menyimpan kesusahannya seorang diri selama ini. Jadi, ketika aku datang, bersedia menjadi tempatnya bersandar dan berbagi beban, ia hanya bingung bagaimana memulainya.

"Lo lagi pengen makan apa? Nanti gua beliin biar cepat sembuh," tanyaku, tidak berusaha untuk menggali lebih jauh tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalahnya.

Ia mengetuk dagunya. "Hmm… Potato chips? Makanan rumah sakit rasanya hambar. Jadi pengen ngemil micin."

"Oke, tunggu ya." Aku mencubit dagunya gemas, lalu melangkah keluar.

Kedua orang tua itu berdiri di ujung lorong, agak jauh dari kamar. Gestur tubuh mereka menunjukkan bahwa keduanya tidak sedang berada dalam situasi yang nyaman untuk saling bicara. Papa dan Mama Luna bahkan menghentikan perbincangan ketika aku muncul. Namun, aku tak memikirkan apapun saat itu.

Romantic Interlude [END]Where stories live. Discover now