11. Gazebo berdarah

41.7K 4.3K 52
                                    

Mereka berjalan melewati beberapa koridor dan ruangan untuk sampai ke taman. Di sana terdapat gazebo khusus yang sudah Restia siapkan sedemikian cantik untuk menyambut Aurora.

Hanya saja, perjalanan ini rasanya amat panjang dan berat. Khususnya untuk Restia. Kenapa? Karena sejak tadi Livius mengekor dengan aura penjagaan super ketat. Dari pada Kaisar dia lebih pantas menjadi bodyguard. Dasar Kaisar bucin!

"Sebenarnya, sampai kapan laki-laki itu akan ikut?" bisik Restia diam-diam di telinga Aurora.

"Hehe...e-entahlah. Maaf sudah membuat Lady tidak nyaman."

"Apa yang kalian bisikkan?" saut Livius.

"Tidak ada kok. Iya kan Rora?" cicit Restia.

"Rora?" saut Livius.

"Ah... itu nama panggilan akrab Lady Restia untuk ku," jawab Aurora yang hanya dibalas deheman.

Mereka telah sampai di gazebo. Juntaian kain berwarna putih menyatu dengan rangkaian bunga berwarna ungu.

"Wah, cantik sekali," tukas Aurora.

"Hehe... ini bukan apa-apa," ucap Restia malu-malu.

Mereka menempati tenpat duduk masing-masing. Begitu pun Livius. Tanpa beray hati ia melenggang untuk menempati salah satu kursi. Membuat dua wanita itu melirik heran.

Di kalangan bangsawan sudah menjadi budaya khusus jika dua perempuan yang sedang bertemu tatap tidaklah boleh ada laki-laki yang masuk. Anggap saja perjumpaan ini seperti Tea Party namun dalam konteks pertemuan dua orang.

Sayangnya justru orang yang punya pangkat paling tinggi di kekaisaran justru tidak peduli dengan budaya itu dan mengekori Aurora seperti itik takut kehilangan induk. Membuat Restia jengah saja.

Eits! Bukan dalam hal cemburu ya! Ingat! Jiwa di dalam tubuh ini adalah Restia Wardani yang mood-nya bisa berubah kapan saja. Seperti saat ini, rasanya ia sudah tidak tahan ingin memperingati Livius.

"Hah! Sudah cukup!" saut kesal Restia. "Dengan tidak mengurangi rasa hormatku Yang Mulia Livius Zen Eraslan. Tolong menyingkir dari kursi itu dan biarkan Rowena mengajak mu berkeliling!" ucap Restia penuh penekanan.

"Memangnya kenapa kalau aku di sini?"

"Yang Mulia ingin jawaban jujur atau formalitas?"

"Jujur," ucapnya sembari menyaut teh beraroma mawar dan menyeruputnya.

"Kalau begitu berjanjilah untuk tidak memenggal kepala ku setelah ini!" Restia menarik nafas dalam-dalam dan berujar. "Sumpah! Yang Mulia hanya akan jadi pengganggu di acara ngobrol kami!"

Seketika Livius tersedak. Tak kalah Aurora pun ikut terbelalak. Begitupun Rowena yang sejak tadi mengawal mereka. Tidak menduga Restia akan seberani ini.

"Apa?! Yang Mulia sudah berjanji tidak akan menghukum ku!" tekan Restia setelah mendapati mata Livius melotot.

"A-anu... c-cuacanya sangat panas ya. Hehe," ucap Aurora menetralkan suasana.

"Ya... karena ada Matahari Eraslan di sini," celetuk Restia menekan di julukan seseorang. Livius pun semakin melotot horor.

"N-nona..." panggil Rowena. "Bukankah Nona ingin menunjukan sesuatu?" saut Rowena sigap. Ia terkejut tapi bukan berarti rasa terkejutnya membuat Rowena lengah.

Jujur, Rowena cukup heran Nonanya berubah 180 derajat. Yang dulunya mengejar-ngejar sekarang justru tampak memusuhi. Mungkinkan Nonanya benar-benar berubah pikiran?

"Menunjukan apa?" tanya balik Restia tidak paham.

Rowena terpaksa tersenyum. Mendekat ke telinga Restia dan berbisik. "Mie ayam!"

The Villain Want to Die (END)Where stories live. Discover now