40. Setelah Revolusi

18.1K 2K 69
                                    

Tumpukkan kertas menggunung di atas meja persegi. Di sisi tengah ada satu orang dengan kerut dalam dan mata terfokus ke tulisan yang sejak petang tadi tak hentinya menggerakkan pena dalam rengukan tangannya.

Setelah revolusi itu, bangswan semakin menjadi-jadi. Bukannya takut, mereka justru mengancam Livius dengan penarikan dukungan yang sudah mereka beri. Dukungan itu ada banyak jenis, mulai dari bisnis yang penghasilannya di bagi sampai distribusi pangan ke pelosok negeri.

Satu persatu bentuk dukungan itu ditarik mundur. Yang paling membuat penat Livius mala mini adalah distribusi pangan ke pelosok negeri. Salah satu bangsawan yang memiliki komoditas gandum melayangkan pemutusan kerjasama dampak dieksekusinya kepala keluarga Aslan. Mereka memiliki hubungan darah dan menurutnya itu adalah pencemaran nama baik. Sehingga mereka memutuskan untuk tidak bekerjasama lagi.

Di samping itu, mereka lah sumber penghasilan bahan baku makanan yang dimanfaatkan Livius untuk subsidi rakyat miskin di pelosok negeri. Bukan hanya itu, setiap kertas memilki permasalahannya sendiri-sendiri dan di meja Livius ada sekitar 37 kertas yang belum ia lihat.

Livius hendak menuliskan surat kepada bangsawan Crosel. Penghasil gandum ke dua yang dimanfaatkan Livius. Untuk saat ini, keluarga Crosel lah yang bisa Livius andalkan untuk memenuhi subsidi gandum rakyat miskin.

Namun sayang, ketika Livius baru menulis beberapa kata. Tetesan darah mengenai kertas putih itu.

“Hais! Seperti ini lagi,” dengusnya seraya menyeka darah di hidungnya.

Akhir-akhir ini pekerjaan membuatnya letih namun tubuhnya tidak bisa seenaknya beristirahat. Ada tujuan yang harus ia wujudkan. Ya, semua ini ini demi kehidupan damainya bersama Restia.

Livius merebahkan dirinya sejenak ke kursi. Memejamkan mata sejenak tapi yang ia dapati justru peristiwa saat minum the bersama di taman waktu itu. Livius akui, ia senang karena Restia cemburu. Tapi, ia tidak bisa selamanya begini. Restia harus menepis kecurigaannya terhadap Aurora. Merka harus rukun, karena bagi Livius, Aurora sudah ia anggap sebagai adik sendiri.

“Aku harus bagaimana untuk membuat mereka rukun?” gumamnya seraya menerawang ke langit-langit.

Terbesit ingatan tentang danau di belakang mansion keluarga Adler. Bukankah Restia dan Aurora memiliki kesamaan? Ya, mereka sama-sama menyukai danau. Senyum Livius mengembang. Ia akan megajak dua wanita itu berperahu di danau buatan di belakang istana. Sepertinya tidak buruk juga mengajak Elgar. Karena Livius yang paling tahu, saudaranya itu paling susah menerima orang baru. Mungkin dengan dilangsungkanny kegiatan ini mereka bisa akrab kembali. Seperti dulu, saat Aron masih ada.

Tadinya Livius ingin menyampaikan niatnya di pagi hari. Mengingat ini sudah larut dan dapat dipastikan Restia sudah tidur. tapi, hatinya berkata lain. Ia butuh wanita itu untuksekedar menghilangkan penat yang membuat Livius sulit sekali tidur.

Ia berjalan ke kamar Restia. Membelah cahaya purnama dengan penerangan lentera miliknya. Ketika sampai di depan pintu, Ia sengaja mematikkan lentera karena takut mengganggu tidur Restia. Ia membukanya perlahan. Berharap Restia tidak terganggu.

Seolah purnama ingin tertawa. Dibanding ketenangan justru Livius hampir saja terkena bantal melayang. Untung ia sigap menghindar dan bantal itu berakhir di lantai.

"Sudah ku bilang jangan membawa.... eh! Y-Yang Mulia?" sahut pelaku pelemparan bantal yang tidak lain adalah tunangannya sendiri, Restia.

"Ma-maaf. Aku kira...."

"Kau belum tidur?" sahut Livius. Ia memungut bantal itu kemudian menyerahkannya ke Restia.

"Be-belum...." jawab Restia malu-malu.

The Villain Want to Die (END)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon