50. Detak Tak Biasa

15.4K 1.7K 76
                                    

Rowena merapihkan posisi bantal dan juga guling milik Restia. Sedangkan sang majikan asik dengan pikirannya sambil menatap gugus bintang pada jendela yang sengaja dibuka.

Senyumnya terukir ketika tahu besok jadwal kelas etiketnya sudah selesai. Dengan begitu tidak ada kelas etiket yang membosankan itu lagi. Yeah! Banzai!

Satu-satunya yang tersisa hanya kelas memanah. Walau butuh tenaga fisik ekstra tapi tidak buruk juga. Bercengkrama bersama para ksatria, makan bekal bersama, mendengar guyonan mereka saat istirahat. Ah, memang dari dulu Restia lebih suka bergaul dengan lelaki dari pada perempuan. Rasanay lebih klop saja, ketimbang wanita yang ribet dengan segala keiriannya.

Lalu ada Elgar yang akhir-akhir ini seolah bisa membawa Restia terbang melayang dengan senyum lembutnya. Ugh! Membayangkannya saja Restia tidak sanggup.

Ah, lalu tentang kudeta itu. Restia dan Elgar setuju untuk mengakhirinya. Sejujurnya bukan benar-benar berakhir. Fraksi penentang kaisar masih ada. Hanya saja tidak seaktif dulu yang selalu rutin memberikan informasi pergerakan para bangsawan jahat.

Kekaisaran mulai membaik. Semua itu berkat usaha Livius. Sejauh ini, ia sudah bekerja keras. Bahkan waktu mengobrol pun tidak sempat. Restia tidak ingin mengganggunya dengan datang ke ruang kerja. Karena Livius tidak akan membiarkan Restia berdiam diri seperti tidak punya teman.

“Keadaan ini menurut ku tidak buruk,” gumam Restia tanpa sadar.

“Iya Nona?” sahut Rowena.

“Ahm, tidak. Bukan apa-apa.”

Rowena tersenyum simpul. “Sepertinya Nona terlihat senang akhir-akhir ini.”

“Benarkah?”

“Humm… tidak seperti dulu. Kening Nona selalu berkerut dalam.”

“Haha, yah, mungkin karena kelas etiket sudah berhasil ku lalui semua. Aku bisa tidur siang lebih lama.”

Pipi Rowena menggembung. Berkacak pinggang sembari menatap gemas. “Bukan berarti perjuangan Nona berhenti. Masih ada banyak acara yang harus Nona hadiri.”

“Ugh! Rowena, kau saja yang menggantikan ku,” rengek Restia.

“Mana ada seperti itu. Aku akan membuat Nona menjadi wanita paling bersinar di Eraslan,” ucap Rowena berambisi.

“Ah, lupakan! Aku tidak mau!”

“Harus mau!”

“Tidak!”

Kemudan dua wanita itu terus berdebat sampai akhirnya lelah sendiri. Kepergian Rowena membuat Restia sendirian di kamar. Masih menatap gugus bintang dari jendela kamar yang sengaja dibuka hordennya.

“Besok latihan apa ya?”

“Apa aku akan diceramahi Elgar lagi?”

“Ugh! Kelebihan dia memang menghujat tepat sasaran!”

“Tapi…. Kenapa ya, bersama Livi tidak bisa seperti itu. Rasanya…. Aku sungkan. Apa karena dia Kaisar?”

“Entahlah….”

Restia membenarkan posisi tidurnya. Ia memeluk guling dan membenamkan kepalanya. “Second male lead…. Ku rasa akhir-akhir ini dia tidak buruk juga.”

Senyum itu merekah di bawah temaram sinar bulan. Gugus bintang menjadi saksi kepada siapa hati itu mulai memihak. Di antara dua pilihan. hanya ada satu pemenang.
Namun seoalh semesta ingin bercanda. Calon pemenang itu harus pergi menjemput kematiannya.

Beberapa hari setelahnya, Restia mendapat kabar Elgar akan berangkat ke medan perang. Medan perang yang sama dengan novel Matahri Eraslan. Tempat di mana Elgar gugur. Perang itu disebut perang Putih. Karena setelah kemenangan yang Elgar bawa. Dirinya disambut oleh kain putih yang menjuntai memenuhi isi kota dari gerbang masuk ibu kota sampai ke istana. Untuk mengantar pahlawan perang ke peristirahatan terakhirnya.

The Villain Want to Die (END)Where stories live. Discover now