33. Kembalilah

27.3K 3.1K 66
                                    

Secangkir teh ditaruh. Menimbulkan bunyi denting yang terdengar nyaring akibat suasana sunyi di antara dua orang yang terlihat canggung. Udara dingin menyapu halaman istana. Kabut pun tampak tebal hingga matahari tak sanggup menyampaikan cahayanya pada penduduk bumi.

Lagi, Aurora mengangkat teh cantik dengan motif bunga anyelir itu. Aroma mawar menguar lembut ketika teh itu diminum. Membuat tubuh hangat dan nyaman. Sangat cocok di penghujung musim gugur ini.

Hanya saja, walau tubuhnya terasa hangat dan nyaman tapi kenapa hatinya memendam rasa was-was? Terutama pada laki-laki di hadapannya. Ia berwajah datar. Oh tidak! Dibanding datar mungkin lebih tepatnya kosong. Ya, tatapan itu kosong sejak hilangnya Restia tiga hari lalu.

“A-anu…. Teh ini rasanya agak beda ya? Aku dengar di Eraslan teh mawar ini sudah menjadi budaya untuk disajikan menjelang musim dingin. Apa benar begitu, Yang Mulia?” ucap Aurora berusaha memecah keheningan.

“Humm, begitulah,” sahut Livius datar.

Ini tidak baik! Menurut yang Aurora dengan dari Admand, Livius kurang istirahat karena proses penyelidikan terhadap bangsawan yang berpotensi menjadi dalang hilangnya Restia. Setiap malam ia bergelut dengan lembaran kertas. Seolah menyampaikan penyesalannya yang tidak sanggup menjaga Restia.

“Yang Mulia?” panggil Aurora. ia mendapati kantung mata tebal dan wajah lelah Livius. “Aku….” Aurora berdiri, menatap Livius sendu kemudian bersujud di hadapannya.
“Aku minta maaf. Kecerobohan ku sudah membawa petaka bagi Yang Mulia dan Lady Restia. Jika aku tidak penasaran dengan rumor yang dikatakan para pelayan tentang bunga liar indah yang mekar di luar istana ketika malam hari, mungkin kejadian seperti ini tidak akan terjadi. Maafkan aku Yang Mulia,” tunduknya lagi lebih dalam.

“Bangunlah! Aku tidak bisa menyalahkan rasa penasaranmu. Kejadian ini murni kesalahan ku. Aku….” ucapannya terjeda. Mengulas kembali ketika Livius menuduh Restia. Itu adalah terakhir kalinya mereka berinteraksi dan Livius justru menyakiti perasaannya.

Hembusan nafas berat terdengar. Livius berdiri. “Jangan menyalahkan diri mu. Sudah tugas ku memastikan mu baik-baik saja,” ujar Livius sebelum berlalu.

Ya benar! Aurora adalah tanggung jawabnya. Ketika negeri Wisteria memberontak ingin lepas dari kekaisaran, seorang laki-laki baik mengorbankan nyawanya demi perdamaian. Dan laki-laki baik itu adalah kakak kandung Aurora. Sebelum meninggal, ia berpesan agar Livius melindunginya. Itu lah janji dengan taruhan nyawa yang sampai sekarang dibebankan ke Livius.

Menjadi pendatang di negeri asing membuat Aurora disudutkan. Membuat Livius mau tidak mau terus mengawalnya hingga ia mampu berdiri sendiri. Tanpa sadar justru perlakuan Livius membuat Restia salah paham dan terus melayangkan rasa cemburu yang berakhir dengan aksi sarkasnya.

Livius tersenyum miris. Menyesali ucapannya tempo hari yang secara tak sadar ia layangkan kepada Restia. Di sela jalannya ia berhenti sejenak. Pandangannya mengarah pada potret foto keluarga yang menampakkan Ayah, Ibu, Kakak dan dirinya. sorot Livius sendu memandang potret sang Kakak.

Jika bangsawan itu tidak membunuh Kakaknya. Mungkin saat ini Livius sudah hidup bahagia bersama Restia.

Ya, karena bangsawan serakah itulah semua tragedi ini terjadi. Satu per satu kebahagiannya direnggut.

Tangannya mengepal erat. Menjadi kaisar diktator pun Livius siap. Demi menemukan Restia kembali. Tekadnya kuat.

“Yang Mulia,” sapa Admand dari belakang. “Persiapan sudah siap,” lanjut Admand. Ia telah melihat Tuannya bekerja siang dan malam untuk tujuan ini.

“Kerja bagus Admand. Tetaplah setia pada ku. Di istana ini... tidak! Di negeri ini, hanya kau yang ku percaya menjadi bawahan ku. Setelah hari ini berlalu, wajah kekaisaran akan berubah dan kau akan menjadi saksi atas revolusi itu!” sorot mata tajam itu menatap nyalang.

The Villain Want to Die (END)Where stories live. Discover now