14. Melepas Belenggu

41K 5.1K 103
                                    

"Berhentii!"

Nafasnya tersengal. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Terlihat sekali ia habis berlari tergesa-gesa. Apalagi dengan kondisi tubuhnya yang seperti itu.

"Hah... hah... tolong... Hentikan!" ucapnya lagi.

Semua mata tertuju pada sosok Aurora yang berdiri sempoyongan. Livius sempat berdiri hendak menolong Aurora sebelum dua pelayan datang membantu Aurora untuk berdiri.

Terlihat sekali wajah khawatir itu. Di depan Restia, Livius sebagai tunangannya mengkhawatirkan wanita lain.

Lagi, perasaan sesak itu menjalari dadanya. Restia memukul dadanya sendiri sambil menunduk kesakitan.

"Nona?" panggil Rowena yang menyadari respon tidak normal Restia.

"Nona... apa ada yang sakit?" tanya Rowena lagi. Restia pun hanya menggeleng. Ia bukan lagi Restia Adler. Hal seperti rasa cemburu tidak mungkin mengganggunya. Tapi, kenapa dada Restia rasanya sakit sekali?

Apakah Restia Adler meninggalkan jiwa tanpa membawa hati dan perasaannya? Seolah ingin terbebas dari belenggu sakit yang ia dapatkan selama ini?

Bulir air mata tak elak jatuh ke karpet. Restia menangis dalam diam. Entahlah, Restia tidak pernah berpikir Restia Adler menginginkan kebebasan seperti ini. Yang Restia tahu, Restia Adler hanyalah antagonis bengis yang selalu mengusik Aurora.

Benar! Restia Adler juga seorang wanita. Melihat tunangannya lebih memperhatikan wanita lain. Siapa yang tidak murka?

Miris sekali, Restia yang dulu saat di dunia nyata sangat membenci karakter Restia Adler, kini ia dibuat merasakan seluruh perasaannya, seluruh cinta tulusnya dan seluruh pengorbanannya.

Sekelebat ingatan tentang laki-laki misterius di gerai Gramedia saat itu memenuhi pikiran Restia.

"Dia hanya ingin mengejar apa yang seharusnya menjadi haknya...." gumam Restia menirukan kalimat laki-laki itu.

"Maaf..." gumam lirih Restia. Ia mengambil nafas dalam-dalam. Menghadap Livius dan beberapa orang di depan dengan tatapan yakin. Ia akan membebaskan Restia Adler dari belenggu cinta ini.

Kini dirinya akan berhenti menjadi wanita bodoh yang mengejar hati seorang lelaki yang bukan takdirnya. Dan hidup dengan keinginannya sendiri.

"Nona Aurora, sebaiknya Anda kembali ke kamar Nona. Anda harus banyak beristirahat," saut dewan legislatif.

"Tidak!" tolak Aurora. Ia berjalan tertatih mendekati Restia. Namun, tenaganya tak cukup banyak untuk sekedar memeluk tubuh Restia. Aurora terjatuh lagi.

"Ku mohon... hentikan persidangan ini."

"Tolong bawa Nona Aurora keluar dari ruang sidang," ucap salah satu dewan legislatif.

"Ku mohon... Yang Mulia... Lady Restia adalah teman pertama ku. Aku tidak peduli motif apa di baliknya. Selama ini yang ku rasakan dari berkirim surat dengannya. Aku merasakan ketulusan. Jadi ku mohon, jangan renggut teman ku satu-satunya. Hiks," rintih Aurora.

Melihat tangis itu. Livius mengernyit pilu. Ia tidak bisa melihat Aurora menangis. Hatinya terasa tersayat.

"Apa kamu yakin?" saut suara bariton khas milik Livius. Sontak semua mata tertuju pada orang nomor satu di negeri ini.

"Apa kamu yakin dia tidak akan mencoba membunuh mu untuk ke dua kalinya?" lanjut Livius. Tangannya tegas menunjuk sosok Restia yang tengah menunduk terhina.

"Aku yakin. Lady Restia tidak akan mecelakai ku!"

"Kamu dengar itu?" saut Livius. Ia menatap dingin pada gadis yang berstatus sebagai tunangannya.

The Villain Want to Die (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang