Restia menatap ke atas. Hamparan langit terlihat kusam dengan kabut tebal. Matahari seakan malu-malu menampakkan sinarnya.
“Sepertinya musim dingin sebentar lagi akan tiba,” sahut Lina.
“Humm… kabutnya sangat tebal.”
“Ya, karena ini di kaki gunung jadi udaranya lebih ekstrim. Semoga perawat yang sedang belanja bahan makanan bisa pulang tepat waktu,” gumam Lina seraya melihat jalan setapak di sana.
Restia tahu stok makanan di panti ini mulai menipis. Persediannya cukup memenuhi dua hari ke depan. Kondisi cuaca tidak memungkinkan mereka menanam kentang. Itu sebabnya panti ini akan dilanda keterpurukkan jika musim dingin tiba.
Jujur saja, perlengkapan panti masihlah kurang. Dari selimut, pakaian anak-anak serta perlengkapan lain yang menunjang. Membuat Restia prihatin karena tidak bisa melakukan apapun untuk membantu.
“Selamat pagi Rina,” sapa Jane. Seperti biasa ia terlihat semangat. Udara dingin ini tak menyurunkan semnagatnya sama sekali.
“Rina, selamat pagi.”
“Selamat pagi.”
“Lina juga selamat pagi.”
Suara anak-anak saling bersahutan menyapa Restia dan Lina. Mereka terlihat rukun dengan tawa gembira. Jika di posisi mereka, mungkin ini adalah hunian terbaik dibanding tempat asal mereka. tapi bagi Restia, hunian ini masihlah kurang.
Lihatlah pakaian tipis itu! Kulit dewasa seperti Restia saja terasa dicubit oleh hawa dingin ini. Apalagi mereka? Kerut alis Restia semakin dalam.
Elgar pasti sudah memberikan semampunya untuk memenuhi panti asuhan ini. terlebih semalam Lina memberitahu bahwa panti asuhan ini bukanlah satu-satunya hunian yang dibangun Elgar. Ada sekitar tujuh hunian yang tersebar di daratan Eraslan yang desanya hancur ulah bangsawan. Jika dibiarkan mungkin akan semakin banyak anak-ana yang terlantar. Dan semakin berat pula beban di pundak Elgar.
“Lina, lihatlah! Aku menemukan ranting yang bagus. Bukankah bentuknya seperti tanduk rusa?” ucap salah satu anak laki-laki.
“Semua ranting memang bentuknya seperti tanduk rusa!”
“Tidak semua! Aku pernah menemukan ranting seperti kail pancing.”
“Ah itu hanya imajinasi mu saja.”
Celotehan anak kecil itu membuat Restia tersenyum simpul. Semangatnya telah kembali. ia tidak boleh kalah! Anak kecil saja bisa kenapa ia tidak?
“Anak-anak, selagi menunggu sarapan jadi. Bagaimana kalau kita bermain di halaman depan?” ujar Restia ceria.
“Hei, hei, kau tidak perlu memaksakan diri. mengurus anak tidak semudah memasak makanan. kau akan kapok nanti,” sahut Jane.
“Hehe, tidak apa. Aku ingin bermain dengan mereka. Jane, bukankah kamu lelah sehabis mencari kayu bakar? Kamu istirahat dulu saja.”
“Hemm… dia baik sekali,” gumam Jane mengatupkan tangan ketika Restia sibuk mengatasi anak-anak yang menarik bajunya untuk ke halaman depan.
“Jane, bukan berarti kau bisa bersantai,” sahut Lina.
“Cih! Iya, iya.”
Sepanjang hari Restia membantu mengurusi kebutuhan panti. Persiapan musim dingin membuat mereka sibuk. Yang tentunya mencari kayu bakar sebanyak-banyaknya untuk sarana menghangatkan diri. hingga tak terasa matahari malu-malu itu sudah menyelesaikan tugas besarnya. Digantikan sang bulan yang justru tampak eksis di langit bertabur bintang.
Restia duduk di ranjang kasur. Memandang perapian yang sejak tadi menyala. Jika ini di mansion, Restia tidak perlu khawatir apinya akan padam karena ada Rowena yang terus memantaunya hingga pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Villain Want to Die (END)
FantasyHanya karena nama karakter dalam novel sama, tanpa sebab Restia Wardani masuk ke dunia novel dan bertransmigasi ke tubuh Restia Alder D. Freya. Pemain antagonis yang selalu mencelakai female lead. Seolah sudah jatuh tertimpa tangga. Restia tau akhir...