53. Rumah Kayu

12.8K 1.6K 36
                                    

“Restia?”

“Ya?”

“Akhir-akhir ini kau sering melamun. Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Livius.

“Tidak, bukan apa-apa. Aku hanya merasa bosan dengan kegiatan ku akhir-akhir ini.”

“Hemm…. Kau ingin pulang ke rumah? Mungkin bisa memperbaiki suasana hati mu.”

“Bolehkah?”

“Hum, apapun untuk mu, calon permaisuri ku.”

Obrolan singkat ketika makan bersama itu membuahkan pemikiran impulsive. Yah, Restia memang sudah lama tidak pulang ke kediaman Adler mengingat kelas etiket yang harus ia jalani. Berhubung kelas itu telah usai dan tinggal menghadiri acara di kalangan social saja. Restia memutuskan setuju untuk pulang.

Lagi pula, Restia rindu kamar rumah dan beberapa pelayan dapur yang sering memasak bersama tempo lalu. Ah, jika beruntung Restia akan bertemu dengan Chalid, ayahnya. Tapi sepertinya itu tidak mudah karena saat ini Chalid sedang di desa Hanburg untuk mengatasi masalah.

Hah! Lagi-lagi desa bermasalah itu. Rasanya Restia seperti punya adik tiri banyak tingkah yang haus perhatian Chalid.

Esoknya kereta kuda dan pengawal sudah disiapkan. Restia bersama Rowena yang menenteng bawaan menganga dengan barisan pengawal yang sudah mampu membuat iring-iringan.

"Restia...." panggil Livius dari belakang.

"Aku menyesal tidak bisa membersamai mu. Padahal aku sudah bekerja semalaman supaya pekerjaan ku selesai. Rupanya itu belum cukup juga."

"Tidak masalah. Aku bersama Rowena saja dan...." Restia melirik banyaknya orang berbaris. "Kau yakin semua pengawal itu akan mengantar ku?"

"Ya, mereka pengawal handal yang ku pilih sendiri. Akan ku pastikan keamanan mu terjaga."

"Bukan itu. Maksud ku, Livi kau terlalu berlebihan."

Livius diam beberapa detik. Memandang datar kemudian matanya menyipit selaras dengan senyumnya mengembang. Ia menggapai anak rambut Restia dan menyelipkannya di telinga.

"Tidak ada yang berlebihan jika menyangkut keselamatan mu," tatapannya menyendu seraya mengecup singkat kening Restia. "Aku akan menyusul dua atau tiga hari lagi. Tunggulah dengan tenang di sana."

"Baiklah. Mengelak pun aku tidak bisa menentang mu," ucap Restia pasrah.

Livius mengantar Restia hingga masuk ke kereta. Sebelumnya ia meminta Rowena untuk menjaga Restia. Seolah sudah menaruh kepercayaan pada gadis pelayan itu.

Selama perjalanan Restia banyak diam. Ia memilih pemandangan dari jendela sebagai objek pandangnya. Tanpa diminta pikirannya tersita oleh pertanyaan seperti ini.

"Bagaimana kondisi Elgar sekarang?"

"Apa suplai makanan terlaksana dengan baik?"

"Tidur di mana dia?"

"Apa dia terluka?"

"Bagaimana kalau persediaan obat-obatan di medan perang kurang?"

Hampir dua bulan berlalu sejak Elgar berangkat. Pikiran seperti itu berkecamuk hingga membuat Restia khawatir sendiri. Bukan hanya hari ini. Tapi hari lainnya pun sama. Pikiran itu menyerang ratusan kali dalam sehari. Bahkan Restia hampir menumpahkan tehnya sangking tidak fokus.

"Hah, melelahkan sekali," gumam Restia.

Matanya melirik. Tumben sekali Rowena diam tidak menanggapi. Biasanya ia yang paling peka pendengarannya dengan keluhan macam ini.

The Villain Want to Die (END)Место, где живут истории. Откройте их для себя