52. Selamat Berjuang

14.2K 1.8K 105
                                    

Purnama membumbung tinggi mala mini. Riuh suara obrolan mengisi aula istana. Bau manis wine menguar di penciuman. gemerlap lampu terang akan memenuhi istana semalaman. Demi kelangsungan acara pelepasan yang menjadi agenda rutin ketika sang pahlawan dan ksatrianya akan pergi ke tanah perang.

Ibaratnya seperti acara pembuka yang dihadiri orang-orang penting. Bangsawan dan orang berpengaruh lainnya. Lalu acara puncaknya akan diadakan besok pagi.

Setiap jalan sudah dipenuhi rumbai. Para penduduk akan berbaris dengan mengibarkan bendera tiruan kecil yang bisa digenggam tangan lalu melambaikannya pada para pejuang.

Lalu di sini Restia menggenggam satu bendera tiruan itu. pada akhirnya Elgar benar-benar akan berangkan besok. Apa yang menanti di medan perang masih tersimpan rapat dalam rahasia takdir.
Ya, kali ini Restia tidak bisa yakin. Akan seperti apa ujung dari perang ini. Jasadnya kah atau senyumnya kah? Tapi yang jelas sebelum Elgar benar-benar pergi. Ia harus memberikan sapu tangan ini.

Restia menaruh bendera kecil itu kemudian merogoh sapu tangan dengan ukiran lavender di ujungnya. Perasaan Elgar sudah tersampaikan. Namun, Restia ingin memastikan sekali lagi. Apakah hatinya benar-benar jatuh pada Elgar atau ini hanya perasaan senang sesaat karena akhir-akhir ini mereka sangat dekat.

Itu sebabnya, Elgar harus kembali! Jika Elgar benar-benar mencintai Restia. Ia akan memulangkan sapu tangan ini kepada pemiliknya. Hanya itu usaha terakhir yang bisa Restia lakukan untuk memberi alasan Elgar kembali dengan selamat.

Bunyi derak mengalihkan atensi Restia. Ia menoleh dan mendapati Elgar dengan pakaian resmi dan satu gelas wine.

“Sepertinya mabuk sebelum berangkat perang sudah menjadi kebiasaan mu ya?” ejek Restia.

“Hah, sudah ku bilang jangan ungkit cerita konyol itu.”

“Kau bahkan tidak menyangkalnya.”

“Kenapa harus menyangkal? Cerita itu memang benar. Tapi bukan berarti aku melakukannya setiap waktu!”

“Apa persiapan mu sudah lengkap?”

“Humm….”

“Aku tidak tahu apapun tentang perlengkapan perang. Tapi….” Restia merogoh saku bajunya. “Ku harap kau mau membawa ini.”

Mata Elgar membulat. Ah, sekarang Restia baru sadar. Ternyata sikap gugup dan kikuk yang sering Elgar tunjukkan ada maknanya. Aduh! Jadi malu.

“Ini apa?”

“Orang bodoh saja tahu ini sapu tangan!” celetuk Restia. Seringainya mengembang jahil. Ini adalah balasan saat Elgar memberikan Restia gelang. Malam ini pun Restia sengaja memakai gelang pemberian Elgar. Sepertinya ia juga sadar saat mengambil sapu tangan itu.

“Kau mau balas dendam ya?”  ucap Elgar seraya melirik gelang di tangan Restia.

“Haha, Tidak kok. Yah, aku hanya ingin kau mengingat bahwa ada seseorang yang menunggu kepulangan mu.” Restia menatap sendu dua manik laki-laki tampan di depannya. “Elgar…. Saat kau pulang nanti. Aku ingin melihat bunga lavender yang kau tanam.”

DEG!

“Jadi…. Pulanglah dengan selamat.”

Elgar tersenyum simpul. Ia sangat bahagia sampai rasanya mau gila. Tubuh tegap itu seketika membungkuk. Lama kelamaan ia berlutut di depan Restia dan menggapai tangannya. Ia hadapkan tangan Restia di depan wajahnya sembari berujar. “Demi nama keluarga ku. Aku Elgar Zen Lustian bersumpah akan kembali dengan selamat dan membawa kemenangan untuk sang matahari.... dan bulan," kemudian ia mengecup dalam tangan Restia.

Penghuni langit malam menjadi saksi atas sumpah yang diutarakan Elgar. Jika diibaratkan Kaisar adalah matahari sedangkan permaisuri adalah bulan.

Kedua insan itu saling melempar senyum yang mungkin akan menjadi senyum terakhir satu sama lain.

***

Iring-iringan pelepasan pasukan Eraslan memenuhi jalanan utama. Riuh sorak-sorakan terdengar bergema seakan segala puja dan puji mengiringi orang-orang yang berangkat membela tanah air mereka.

Sesuai tradisi, Kaisar dan pasangannya akan menunggu iring-iringan di gerbang terakhir. Memberi doa keselamatan sekaligus penghormatan tertinggi. Di samping Livius sudah ada ksatria yang membawakan pedang Elgar. Lalu di sisi Restia ada Rowena yang membawa nampan berisi pin dengan lambang matahari kekaisaran.

Masing-masing akan diserahkan kepada Elgar. Sebagai simbol pengharapan. Bahwa Negeri Eraslan menaruh nasib di pundak mereka.

Di ujung sana Restia melihat iring-iringan itu semakin mendekat. Dengan mata yang terus memandang ke depan, Elgar tampak gagah berani menaiki kuda jantan hitam, sahabatnya di medan perang.

“Restia….” panggil Livius.

“Ya, Yang Mulia?”

“Tersenyumlah.”

DEG!

Ah, jadi dari tadi Restia terlihat murung ya? Sejak dulu memang Restia tidak mudah menyembunyikan perasaannya.

Tak memakan waktu lama. Elgar sampai di hadapan Livius dan Restia. Sebagai panglima yang mengabdi pada negeri, ia turun dan berjalan gagah ke hadapan Restia dan Livius.

“Saya Elgar Zen Lustian menghadap Yang Mulia dan calon permaisuri,” ucap Elgar tegas seraya berlutut.

Livius mendekat. Tak lupa membawa pedang yang diserahkan ksatria di sampingnya.

“Duke Elgar… tidak! Elgar, kau adalah satu-satunya keluarga ku. Doa ku selalu sama, semoga kau kembali ke negeri ini dengan selamat.”

“Terimakasih Yang Mulia.”

Livius mengacungkan pedang ke langit sebelum mendarat ke pundak Elgar. “Dengan ini ku taruh harapan ku, harapan rakyat dan juga harapan leluhur Eraslan ke pundak mu. Jadilah pedang yang melindungi Eraslan. Hari ini, esok dan seterusnya. Doa kami selalu menyertai mu," lugas Livius menggema.

Pedang itu diserahkan. Kemudian Livius menepuk pundak Elgar seraya tersenyum sebelum mundur dan digantikan Restia.

Senyum itu terpampang apik. Senyum berusaha tegar yang nyatanya tak ada ikhlas-ikhlasnya. Namun, Restia harus tetap tersenyum. Tangannya gemetar meraih pin di atas nampan. Rowena yang melihat kejanggalan itu hanya bisa memandang layu.

“Duke Elgar, seperti yang Yang Mulia utarakan. Aku pun menaruh harapan besar pada mu,” ucap Restia setelah berhasil memasangkan pin di dada Elgar. Percayalah, mati-matian Restia menahan air matanya tidak merembas keluar.

“Terimakasih calon permaisuri.”

Pandangan mereka bertemu. Restia melayangkan senyumnya kemudian berbisik. “Kembalilah,” ucapnya tanpa suara.

Kemudian Restia mundur beberapa langkah. Menyamankan posisi di samping Livius.

Setelah beberapa kali genderang di tabuh dan terompet di mainkan. Elgar dan para pejuang itu keluar melewati gerbang. Restia mengantar kepergian Elgar dengan pilu yang tak bisa ia tuangkan.

Tuhan, ini adalah permohonan ku. ketika pijakannya sampai di tanah tandus tempat di mana darah dan daging mati tergeletak berceceran. Pada saat itu, berikan pertolongan mu. Jaga terus jiwanya. Sampai tiba waktunya ia pulang ke tanah kelahirannya. Dengan membawa kemenangan dan senyum canggung malu-malunya.”

“Restia….”

Uluran tangan Livius membuyarkan fokus Restia yang tengah menatap jauh rombongan pasukan Elgar. Dengan berat hati, Restia meraih tangan Livius dan memasuki kereta kuda untuk pulang.

Selamat berjuang, laki-laki hebat.












Tim Elgar mana nih?
Selamat Menunggu dengan cemas. Yang kembali peti mati kah atau senyum malu2 bang Elgar. Cmiw

Vote komen yak

The Villain Want to Die (END)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu