26

3.8K 481 46
                                    

☬☬☬
.

.

.

Beberapa hari sebelumnya...

Di dalam ruang kerja sebuah rumah besar yang terletak ditengah ibukota Zweshia, lima orang sedang berada disana. Mereka adalah Gavin dan keluarganya yang tengah berkumpul untuk membahas sesuatu.

Ayah Gavin, Barney Alphonsus tengah berdiri memandang dua putranya bergantian, lalu beralih pada putri satu-satunya. Pria itu kemudian meletakkan sebuah berkas yang dibawanya keatas meja dengan sedikit kasar sebelum akhirnya duduk.

"Gerald, aku sudah mendengar semuanya dari dosenmu." Ucap Barney seraya menatap seorang pemuda berusia 21 tahun yang duduk dihadapannya. Pemuda itu adalah putra pertamanya yang juga kakak Gavin.

Pemuda yang dipanggil Gerald itu hanya menunduk. Dirinya ketakutan karena merasa telah membuat kesalahan.

"Ayah, maafkan aku menyela. Tapi bukankah ayah terlalu berlebihan pada kakak?" Gadis dengan surai hitam sepinggang itu menegakkan punggungnya. Manik hitamnya menatap sendu wajah sang ayah.

"Michelle, kamu tidak usah ikut campur. Sebagai penerus Alphonsus, Gerald harus sempurna! Seharusnya kau mengerti itu kan, Gerald?!" Ucap Barney dengan nada penuh penekanan.

"Tapi ayah masih punya Gavin!" Balas gadis bernama Michelle itu tanpa rasa takut.

"Dia?" Barney menunjuk Gavin dengan wajah meremehkan. "Apa yang bisa dilakukannya? Dia hanya anak yang suka berbuat semaunya. Tidak tertolong! Aku sungguh malu jika penerus Alphonsus seperti dia."

"Sayang, hentikan. Jangan seperti itu. Gavin juga putra kita. Dia hanya belum cukup dewasa untuk memahami semuanya." Ucap istri Barney, Meera.

Gavin yang duduk bersandar disana hanya menghela napas kasar. Ya, situasi seperti ini sudah menjadi kesehariannya. Selalu dibanding-bandingkan dengan kakak laki-lakinya  dan diremehkan oleh sang ayah. Tapi Gavin tidak peduli. Pemuda itu hanya ingin hidup sesuai keinginannya.

☬☬☬

Tengah malam, Gavin tengah berbaring seraya memainkan ponselnya. Pemuda itu sedang melihat-lihat foto-fotonya bersama Rekha. Pandangan sendu dan senyum lembut itu membuat Michelle yang saat ini sudah berdiri di depan pintu kamar Gavin, sedikit tertegun.

"Gavin, boleh kakak masuk?"

Gavin terkejut. Ponsel ditangannya sontak terlepas dan langsung menimpa wajahnya.

"Ahahah... Apa yang kamu lihat sampai tidak fokus seperti itu?" Michelle berjalan mendekat lalu duduk disisi ranjang.

"Kenapa kamu disini?" Tanya Gavin seraya mengusap pangkal hidungnya yang masih nyut-nyutan.

"Apa dia menyukainya?"

"Hah?"

"Pie blueberry yang kita buat kemarin. Apa dia menyukainya?"

Gavin tersenyum. Pemuda itu menggunakan kedua lengannya sebagai bantalan seraya menatap langit-langit kamarnya. "Ya... Dia selalu menyukai apa yang kubawakan untuknya.

"Gavin, apa kamu tidak ingin bersamanya?"

"A- apa?!" Gavin sontak beranjak duduk. "Apa kau gila?! Tentu saja aku ingin bersamanya!" Gavin memicingkan matanya menatap sang kakak.

ᴛʜᴇ ʏᴏᴜɴɢ ᴍᴀꜱᴛᴇʀ ɪꜱ ᴀ ɢɪʀʟTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang