sebelas

1.1K 49 0
                                    

Shella berdiri, menatap bulir air di kaca jendela. Hujan sedang deras. Guntur mendominasi. Seisi ruangan dipenuhi hawa dingin, membuat Shella terus memeluk dirinya sendiri.

Ini hari ketiga dirinya bersembunyi di rumah Davin, sendirian. Empunya rumah mungkin tinggal di rumahnya yang lain. Sesekali pemuda itu datang menjenguk Shella hanya untuk memberikan bahan baku untuk gadis itu masak. Anggap saja bersembunyinya dia di sini ialah kiat penyembuhan fisik.

Insiden dua hari yang lalu terus saja berputar di benaknya. Bukankah sejak itu, Davin dan dia tak lagi bercengkerama seperti biasa? Itu semakin membuat Shella merasa sepi.

Besok, adalah hari penentuan. Shella tak sabar untuk bisa lepas dari bayang-bayang kekejaman ortu angkatnya. Dia tak sabar untuk bisa bebas tanpa jerat siapa pun, apa pun. Namun, dia tetap saja, merasa ada sesuatu yang akan hilang. Dia tak ingin mengakhiri hubungannya dengan Davin.

Dia, sama sekali, tak ingin jauh dari Davin.

Bagaimana ini?

Selarut itukah perasaannya terhadap Davin?

Tak pedulikah dia akan siapa Davin sebenarnya, sehingga seperti berencana akan tetap di pihak Davin apa pun yang terjadi?

Shella menahan napasnya sejenak saat seseorang dengan motornya parkir di teras rumah. Dia masih berdiri di tempat bahkan ketika seseorang itu masuk dan menutup pintu.

Shella lihat cowok itu berdiri di depannya. Dia lihat cowok itu membuka tudung jaketnya, menjatuhkan rintik air. Shella lihat napas cowok itu tidak beraturan. Lalu melembut seiring berlalunya detik.

Mata Shella beralih dari jerat sorot datar itu. Dia berjalan menuju sofa, meraih handuk, menyerahkannya kepada sang pemilik. Kemudian tersenyum tipis sebelum berbalik pergi.

"Kita percepat waktunya."

Shella spontan berhenti, memberi ruang untuk cowok di belakangnya melanjutkan pembicaraan.

"Nanti malam ... lo musti pulang ke rumah."

Shella menghela napas, mengangguk mengerti.

"Gue ke sini cuma ngabarin itu," kata Davin sembari meletakkan handuk ke kepala gadis itu. Kemudian membuka pintu rumahnya, keluar. Shella lihat cowok itu menoleh ke arahnya sekilas, sebelum akhirnya berlalu.

Disentuhnya dadanya. Kapan ... ngilu ini akan berhenti berdenyut?

*

Hujan masih berlanjut. Senja beralih gelap. Lampu tiang memberikan cahaya remang. Kaca mobil tempat pelipisnya bersandar terasa dingin. Hawa terasa berat, begitu juga dadanya. Apa ini akan berhasil?

Rumah megahnya tampak. Meski tak semua sisi lampu rumah itu yang menyala, Shella tetap yakin bahwa kedua orang itu ada di dalam. Mungkin tengah frustrasi menantikan dirinya.

Bukan karena sayang. Satu-satunya alasan mengapa Benedict dan Isla tak pernah melepas Shella pergi hanyalah agar gadis itu bisa dimanfaatkan untuk ajang pencitraan.

"Polisi udah stand by di tempat. Jadi lo cuma tinggal akting," kata Leon sebelum mesin mobil dimatikan. Dia terkekeh pelan. "Mereka parkir juga sembarangan. Gue ragu mereka berhasil nyelinap atau malah ketauan."

Shella duduk tegap. Dia menatap Leon yang membantu melepaskan safety belt dari tubuhnya. "Gue penasaran, apa iya ada anak SMK biasa yang bisa manggil polisi seenaknya?"

Leon terpingkal. "Lo pikir kita segampang itu manggil polisi?"

Shella diam. Hanya menatap datar. Melihatnya Leon berhenti tertawa.

"Gue bakal jawab pertanyaan lo lain kali. Sekarang, ayo turun. Kita bakal nyelamatin elo."

Shella mengangguk singkat, kemudian segera turun dari mobil. Dia dorong gerbang tinggi rumahnya, berjalan pelan menuju pintu. Dia tekan bel rumahnya, lalu masuk begitu pintu itu terbuka.

Shella in the Davin's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang