tiga puluh empat

934 37 0
                                    

Leon menyodorkan kunci pintu rumah pada empunya. Masih di dalam mobil yang sama, dia tatap wajah pucat yang menatap kosong kunci di tangannya.

"Rachel nitip itu ke gue." Leon senyum begitu Shella membalas tatapannya. "Ntar malam dia bakalan pulang. Dia khawatir sama lo. Jadi, sambut dia ramah-ramah ya."

Shella menghela napas. Mengangguk. Dia lihat Albert, memanggilnya. Cowok berkacamata itu menoleh ke belakang.

"Jangan lupa kabarin gue soal Evelyn. Lo bisa telpon gue lewat telepon rumah."

Albert mengangguk patuh. Membiarkan gadis itu keluar dari mobil.

Shella melambaikan tangan. Berjalan masuk ke rumahnya. Dia lambaikan lagi tangannya ke arah mobil sebelum menutup pintu. Lalu berlarian menaiki tangga usai memastikan mobil yang mengantarnya pulang sudah lenyap dari halaman rumahnya.

Shella mengganti busananya. Mengenakan mantel dan syal. Selesai mengolesi wajahnya dengan pelembab dan taburan bedak seadanya, dia lari lagi menuruni tangga. Keluar dari rumahnya, menguncinya.

Mengendap-endap keluar dari halaman rumah hingga menemukan taksi. Dia sebutkan sebaris alamat pada sopir. Mobil kian melaju kencang, menembus hawa dingin di terik yang sama sekali tak menghangatkan.

Sampai di sebuah rumah tempat dirinya pernah singgah dan bersembunyi, Shella titahkan sang sopir untuk menghentikan mobil. Shella segera turun usai menyodorkan uang. Cepat-cepat dia berjalan ke rumah itu. Memegang gagang pintu.

Tak terkunci.

Leon benar; Davin takkan mengunci pintu rumah kalau dirasanya tak perlu untuk dikunci.

Shella masuk. Sepatu kets di rak sepatu menunjukkan adanya seseorang di rumah. Tirai jendela berayun dihembus angin. Sembari menata napasnya yang tak teratur, Shella berjalan mengamati isi rumah. Menebak-nebak di mana cowok itu berada.

Ada ruangan di samping tangga. Perlu tiga jenjang menurun untuk berbelok. Lalu lorong pendek. Lantaran sedikit gelap, Shella nyalakan sakelar yang kebetulan ada di dinding lorong. Membuat ruangan serta-merta benderang.

Ruangan yang hanya ada sofa, permadani berbulu, dan lemari tempat diletakkannya TV layar datar itu sama sekali tak menarik perhatian Shella. Gadis itu hanya terpaku pada sosok yang tengah merebahkan dirinya di sofa. Membiarkan sebelah tangannya terjuntai menitikkan banyak darah.

Apa.. apa-apaan!!?

Cowok bodoh itu, Davin, sialan! Apa dia tengah mencoba bunuh diri!?

**

"DAVIN!!" histeris Shella berlarian menghampiri sosok itu. Berusaha tak menginjak darah yang menggenang di lantai, darah yang hampir mengenai lembutnya permadani. Sisi yang sejajar dengan telapak tangan penuh gores yang dilumuri darah. Ada silet di lantai, tenggelam dalam genangan cairan merah. Shella berusaha tenang meski dia tahu dirinya benar-benar panik. Tapi dia tak mampu untuk tak teriak ketika membangunkan cowok itu dari tidur atau malah pingsannya.

Shella sedikit melunak begitu mata Davin terbuka. Gadis itu berkaca-kaca. Takut membayangkan dirinya tiba-tiba kehilangan Davin dengan cara seperti ini.

Sekejap, raut Shella berubah murka. "Bego apa!!? Lo pikir lo punya nyawa lebih!?"

Melihat Davin menyeringai usai termangu cukup lama, Shella sadar bahwa sosok itu adalah orang lain.

"Santai. Udah biasa."

Shella semakin marah. "KEITH!!"

"Dia emang gitu. Dia yang nyakitin dirinya sendiri, eh malah gue yang nanggung sakitnya."

Shella in the Davin's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang