36

845 26 0
                                    

"Albert, lo sekolah?"

Cowok berkacamata yang tengah sibuk dengan ponselnya segera menoleh ke asal suara. Sosok ramping berambut lurus yang berdiri di dekatnya duduk tampak tak percaya dirinya ada di dalam kelas ini.

"Ya.. iya. Gue kan masih siswa," jawab Albert enteng seraya memainkan ponselnya kembali. Shella menyuruhnya pindah tempat, membuatnya duduk di bangku dekat dinding. Sedangkan Shella duduk di sebelahnya.

"Mumpung Evelyn belum hadir, untuk sementara gue duduk di sini ya? Lo kan sendirian," riang Shella seraya mengeluarkan buku dari tasnya. Bersenandung.

"Ya, nggak papa sih." Albert melihat isi kelas. Tak salah lagi. Beberapa pasang mata kini tengah menatapnya tajam. Albert menghela napas. Memilih tak peduli. "Lo sehat?"

Shella mengangguk. "Nggak usah khawatir. Pas paha gue bengkak karna tongkat bisbol aja gue masih sanggup ke sekolah."

Sepertinya Shella salah mengartikan pertanyaan Albert. Namun Albert tetap meringis. "Oo-oke."

"Evelyn gimana? Mami ada nanyain gue nggak?"

"Hm, ada. Gue terpaksa bohong buat yakinin dia kalo lo baik-baik aja. Kalo Evelyn, yeah. Kita musti sabar lebih ekstra lagi."

Shella mengangguk. Tersenyum sedih. Cepat-cepat dia ganti air muka, menatap lengan Albert yang berbalut sweater. Lalu beralih menatap Albert.

"Bener nggak sih, kalo kalian buat kesalahan, kalian ngehukum diri dengan cara sendiri?"

Albert tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, "Siapa bilang?"

"Davin." Shella membuang napas. Memperagakan cara mengiris lengan menggunakan telunjuknya. "Dia ngiris tangannya pake silet. Katanya, itu cara buat nebus rasa bersalah."

"Trus, hubungannya sama kita?"

"Kalian juga ngelakuin itu kan?"

Albert tersenyum tipis. "Davin bohong. Itu cara dia. Bukan kita. Organisasi punya aturan sendiri buat ngehukum yang bersalah."

Shella mengernyit. "Jadi, Davin beneran niat bunuh diri?"

"Dia ngiris tangannya sendiri?"

Shella mengangguk. Albert juga mengangguk, memainkan ponselnya. "Berarti pilnya udah habis."

"Pil?"

"Hm. Dia butuh pil buat ngurangin rasa sakit. Itu pil juga bisa switching Keith kalo Davin nggak bisa nemuin dia di inner world."

Shella melongo. Mendecak jengkel. "Emang nggak salah Evelyn manggil lo Einstein. Lo pikir gue bisa ngerti, apa, sama apa yang lo omongin?"

Albert menoleh. Menghela napas. Baru saja hendak bicara, guru yang akan mengajar pagi ini sudah keburu masuk dan memberi salam. Membuat Albert mengurungkan niatnya untuk menjelaskan sesuatu pada gadis yang tengah merungut itu.

**

"Davin bisa liat alter ego-nya di inner world?"

Bel pergantian pelajaran sedang mengalun. Albert menunggu bel itu selesai sebelum menjawab pertanyaan Shella.

"Bisa."

"Jadi, dia tau wujud Keith kayak apa?"

"Tau."

"Kayak apa? Kepala kucing badan manusia? Atau kepala manusia trus badannya kucing?"

Albert mengernyit. "Keith emang monster. Tapi nggak gitu juga kali."

"Trus?"

"Ya, kayak cowok biasa. Rambut kuning, mata merah. Tinggi. Ganteng. Ah, ada tindik juga."

"Loh, jadi kalo mereka split, itu tindik muncul sendiri dong?"

Shella in the Davin's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang