dua puluh satu

1.8K 74 0
                                    

"Hanya saja.. aku tergila-gila padamu."

Air mata Shella yang bermuara kian meluncur mulus. Membuat matanya merah. Rautnya murka. Dia menggeram, "What the fuck you!"

Mendengarnya Erwin terbahak. "Mulutmu kasar, aku suka!"

Shella tetap diam di tempat saat Erwin beranjak. Mondar-mandir di depannya. Masih tertawa.

"Aku frustasi karna harus undur diri dan jauh dari kamu, Shella. Kamu satu-satunya cewek yang bikin aku marah cuma karna jauh dari kamu. Kamu tau aku mabuk karna apa? Karna kamu, Shella! Dan kamu tau kenapa aku merkosa Evelyn, ha? Itu juga karna kamu! Wajah Evelyn berubah jadi wajahmu. Tanganmu. Kakimu. Argh! Kamu benar-benar indah, Shella!!"

Shella masih tak bergeming meski Erwin mengganti tawanya menjadi wajah berang. Menatapnya.

"Si brengsek itu, siapa? Temanmu? Berani-beraninya mereka! Ngancam aku supaya nggak dekatin kamu lagi? Sialan!!"

Gadis yang masih dan tetap duduk di tempat itu menahan teriakan begitu Erwin menendang keras kaki meja. Kemarahannya yang meluap sepertinya menyamarkan rasa sakit yang diperoleh dari tendangan yang lumayan kuat itu.

Erwin mengitari meja, duduk di sofa yang sama dengan yang Shella duduki. Menghadap gadis yang dia paksa untuk menghadap dirinya juga.

Menatap nanar wajah tegang Shella.

"Setelah ngasih kamu ketenaran, ngasih kamu prestasi yang bikin lemarimu penuh dengan piala, kamu malah balas aku sejahat ini?" Erwin mendesah sinis. Menyapu lekat mata Shella yang basah. "Aku cinta kamu, Shella. You know? Betapa aku ingin sekali saja bisa menghirup aromamu lagi. Menjilat bibirmu yang selalu mengumpat itu. Menggigitnya. Merobek wajah cantikmu. Membuat lubang di tubuhmu dan bermain dengan itu!" Erwin tertawa lemah. Menggeleng. Menatap Shella putus asa. "Aku benci aku nggak bakal pernah bisa."

Hening. Shella menahan isaknya, sementara Erwin menunduk meremas rambut dan keningnya. Mendongak begitu Shella dengan suara seraknya berkata, "Tadinya gue ke sini dengan harapan lo masih punya hati buat nyatain kalo lo ngehormati Evelyn, kalo lo bener-bener nggak sengaja." Bibir Shella bergetar seiring air matanya yang terus meluncur. "Ternyata lo masih sama brengseknya dengan Erwin yang dulu. Gue pikir lo nggak perlu lenyap dari bumi. Tapi kayaknya gue salah." Shella tersenyum getir. "Lo bilang lo cinta, eh? Cinta macam apa yang bikin orang hampir tiap hari pengen bunuh diri? Kenapa lo bisa seegois ini? Lo bilang apa tadi? Semua cewek sama aja cuma karna nyokap lo lacur? Excuse me? Apa ini hasil pendidikan tinggi dan prestasi yang lo pamerin ke setiap orang yang lo ajak ngomong? Kenapa orang kayak lo musti ada, Erwin? Kenapa!?"

Erwin diam. Mengernyit melihat Shella mengeluarkan sesuatu dari tas yang dari tadi berdiam di pangkuan gadis itu.

Sebilah belati 5 inci. Berkilau begitu sarung kulitnya Shella lepas.

Erwin menyipitkan matanya. Gusar. "Mau apa kamu?"

Senyum hambar Shella terukir di wajah nanarnya. "Lo harus mati."

"Shella..."

"Lo udah bikin Evelyn hancur. Lo nggak boleh keliaran, lo bahaya. Gue harus bikin lo pergi. Dan gue benci gue nggak bakal pernah bisa. Jadi.." Shella mengarahkan ujung belati ke dadanya. Tepat di area jantungnya sendiri. "Biar gue aja yang pergi."

Mata Erwin melebar. Senyum hampa Shella benar-benar mengerikan kali ini.

Senyum dari gadis yang putus asa.

"Bye." Shella siap mengayunkan tangannya ke dadanya. Naas, tangan Erwin terlalu ligat. Shella bahkan tak tahu di detik ke berapa belatinya terlempar. Dia lihat Erwin menatapnya tajam dengan napas yang tak teratur. Sejenak, hanya sejenak, Shella tertegun saat tatapan tajam itu beralih lembut menjadi tatapan sendu.

"Don't try to kill, please."

Lampu seketika padam. Gelap, teramat gelap hingga Shella merasa sedikit sesak. Dia dengar Erwin mengumpat. Seperti hendak beranjak mencari benda apa pun yang bisa bercahaya. Lalu dia dengar suara asing. Suara aneh; seperti suara yang dihasilkan oleh logam pipih yang menancap dalam lemak dan daging, merobek kulit dan memutus urat.

Di tengah kegelapan itu, tak ada lagi suara Erwin, tak ada teriakan, hanya ada suara gaduh sesuatu yang menghantam lantai.

Derap sepatu semakin membuat jantung Shella bertalu.

Lampu menyala. Tak ada lagi Erwin yang tadinya duduk di dekatnya. Tubuh yang selama ini menyakitinya kini tergeletak di lantai. Bergelimang di atas kentalnya darah.

Shella tak bisa teriak, bahkan mematung ketika melihat jelas ada sesuatu yang menembus leher Erwin yang menjadi sebab pria itu tak lagi bernyawa.

Padahal Shella lah yang berencana mati di rumah yang remang ini.

Shella lihat belatinya sudah tak di lantai lagi. Bukan, bukan belatinya yang menembus leher Erwin. Belatinya tak sepanjang itu. Tidak. Bukan itu yang penting sekarang! Siapa yang telah membunuh Erwin? Siapa orang asing yang berhasil menyelinap dan mendengarkan percakapan panjang antara Shella dan Erwin!?

Dan sial. Dari mana asalnya suara derap sepatu itu!?

"Cari ini?" Suara familiar muncul bersamaan dengan tangan yang menyodorkan belati dari belakang Shella. Napasnya benar-benar tertahan. Tak mampu memastikan siapa pemilik suara mengerikan itu.

Sosok pemuda berjalan mengitari sofa. Kemudian duduk di tempat Erwin sebelumnya duduk. Jaket hitam parasutnya dinodai gelap darah. Mata dan senyum hambar itu tampak tak asing. Ada tindik hitam di sebelah telinganya. Mungkin terbuat dari logam bundar atau malah hanya sekadar anting karet hitam biasa. Rambutnya memang tak selalu rapi, tapi tak pernah seberantakan ini. Shella pernah melihat sosok itu sebelumnya. Bahkan sering. Namun, dalam wujud yang seperti ini, dia hanya baru dua kali.

Bukankah dia yang dilarang Albert untuk Shella ajak bicara?

Kembaran Davin.

"Sebenernya gue udah dari tadi di sini," Kata cowok itu sembari mengelap bersih belati milik Shella dengan ujung jaketnya. "Gue nggak ngerti kalian bahas apaan. Dan gue benci nunggu lama-lama."

Shella bergetar bergumam, "Da... Dav.. Davin..."

Cowok itu tertegun sebelum tersenyum lagi. "Kayaknya ini bukan pertama kali kita ketemu. Ya kan? Sori, Nona. Gue bukan Davin. Tapi ini badan dia sih."

Shella mengernyit.

"Gue nggak tau siapa target gue sebenernya. Biasanya Davin ngeletakin gue ke satu rumah yang isinya cuma satu orang. Tapi kali ini ada dua, dan gue nggak ragu sih kalo target sebenernya itu cowok. Makanya yang pertama mati itu dia." Cowok itu menunjuk Erwin. Lalu kembali menatap Shella. "Sebenernya gue nggak niat buat nyakitin lo, Nona. Tapi apa boleh buat. Gue nggak pernah dikasih izin buat percaya sama orang lain, selain mereka." Tangannya terulur menyentuh dagu Shella. Menyeringai. "Kucing selalu manis sebelum mandi darah. Ya kan?" Dia tertawa. "Dan lo kucing paling manis yang pernah gue lihat."

Shella in the Davin's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang