tiga puluh satu

1.7K 69 0
                                    

Davin berjalan mendekat. Tetap tenang meski orang yang dia hampiri seperti patung yang mencoba mundur terpaksa. Sialnya, punggungnya terpojok menabrak dinding. Ketika dia hendak kabur menaiki tangga, tangan Davin justru lebih dulu menampar dinding, mengunci posisinya.

Shella menggigit bibirnya. Mencoba untuk tidak histeris. Satu-satunya yang tak bisa dia kendalikan hanyalah air mata.

"Bukan cuma Keith. Gue juga bisa sadis." Sorot datar Davin kali ini benar-benar menyadarkan Shella bahwa, cowok itu benar-benar seorang.. monster. "Gimana? Masih suka nggak?"

Shella menangis. Menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Pasrah saja ketika Davin langsung menyingkirkan tangannya itu dari mulut, kemudian menyeka air matanya, meraba bibirnya yang gemetar.

Tersenyum sinis. "Keith nggak bakal lagi nyakitin elo karna lo udah fix dianggap piaraan. Itu prinsip dia. Sedangkan gue?" Davin terkekeh. "Nggak bakal bisa lo tebak Shel. Sekarang bisa aja gue perlakuin elo selembut mungkin. Besoknya bisa aja lo udah jadi mayat. Sampe sini lo masih gebet pengen ngertiin gue?"

Shella menunduk. Tak kuat untuk membalas tatapan kosong mengerikan itu. Tapi Davin seperti tak mau Shella tak melihatnya. Dia tahan dagu Shella untuk tetap terus menatapnya.

Untuk tetap mendengarkannya.

"Belum apa-apa, lo udah setakut ini?" Sebelah alis Davin terangkat. Pura-pura heran. "Sampe sini lo udah bisa mutusin kan; bakalan tetep pengen gue, atau milih berhenti?"

"Plis.. lepasin gue."

"Nggak sampe lo jawab pertanyaan gue."

Shella terisak. Menatap mata kosong itu dengan sorot pedih. Entah luka ke berapa, yang pasti dia merasa begitu sakit. Tak mengerti di mana khususnya sakit itu berdenyut. Satu hal yang diketahuinya pasti; satu persatu fakta yang dia lihat dari Davin, membuatnya lemah untuk menyatakan dengan jelas bahwa perasaannya, tetap belum berubah.

Hanya saja, dirinya, terlalu takut untuk saat ini.

Terlalu takut berhadapan dengan sosok itu.

Membuat dirinya membenci rasa takutnya sendiri.

"Cium gue."

Davin mengernyit. "Hah?"

"Cium gue. Perkosa. Trus bunuh. Lo bakal tau jawabannya dari sana."

**

Kicau burung di luar sana membangunkan Shella. Terik mentari berusaha masuk melalui gorden yang masih menutupi dinding kaca. Shella melihat sekeliling, sadar akan dirinya tergeletak di kasur, entah oleh siapa. Padahal, seingatnya, dia baru saja bertengkar dengan Davin di dekat tangga usai melihat seseorang mati di depannya. Tapi, kenapa tiba-tiba dirinya malah di sini tertidur? Kenapa hari juga tiba-tiba sudah pagi?

Mengingat percakapannya dengan Davin tadi malam, Shella seketika tersentak duduk. Menyingkirkan selimut, memeriksa kondisi tubuhnya yang tak kurang satupun. Pakaiannya masih lengkap. Sadar akan jahatnya prasangka, Shella termangu sejenak. Menghela napas.

Harusnya, dia tak perlu khawatir akan itu. Bukankah dia tahu bahwa Davin itu berbeda?

Meski dia tahu Davin punya sisi anarki yang memang tak bisa ditebak—karena dia pikir hanya Keith yang punya otoritas penuh untuk membunuh, meski dia tahu Davin benar-benar bisa membuatnya terluka secara batin, Shella tetap percaya bahwa; Davin takkan menerapkan satu trauma bejat itu pada dirinya.

Lantas, di mana cowok itu sekarang? Apa yang terjadi usai percakapannya dengan Davin malam tadi? Apa kabarnya mayat pria itu? Benci bertanya-tanya, Shella memutuskan beranjak. Lalu terkejut ketika pintu kamar tiba-tiba berbunyi. Diketuk seseorang dari luar.

Shella in the Davin's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang