tiga puluh

980 36 0
                                    

"Gue pergi dulu."

"Di gudang."

Langkah Davin terhenti. Urung menekan gagang pintu. Menoleh melihat Keith yang masih saja asyik dengan kucing-kucingnya.

"Di gudang, ada penyusup. Gue tau pas ngambil cangkul buat nguburin Lucas. Dia perenang hebat, makanya bisa nyelinap lewat jendela gudang. Dia sembunyi di belakang kanvas. Entah kalo sekarang. Yang pasti pintu gudang gue kunci dari luar—walaupun pintunya masih banyak yang bolong padahal udah gue tambal. Tapi gue nggak yakin dia cuman diem di gudang tanpa tujuan apa-apa." Keith memeluk kucingnya. Tersenyum lebar ke arah Davin. "Sekarang mungkin lagi keliaran."

Davin membuang napas, mengalih pandangan. Seolah tengah menelan setumpuk kejengkelan.

"Pantas listrik mati," Ketus Davin. Keith terkikik.

"Kali aja dia komplotannya cowok yang kita bunuh kemaren. Mobilnya kan gue bawa kabur."

Davin terbelalak. Berseru, "Lo bawa mobilnya ke rumah!?"

"Lah iya. Kalo enggak gimana caranya coba, gue bawa itu nona?"

Davin benar-benar jengkel sekarang. Diabaikannya lambaian tangan Keith, memilih membuka pintu kemudian keluar.

Keluar dari dimensi dunianya yang lain.

**

Di kamar yang masih berhawa dingin ini, yang masih terdengar petir dan deru hujan di luar sana, Davin membuka matanya. Dia usap wajahnya dengan sebelah tangan sembari menghela napas. Dilihatnya gadis yang sudah terlelap nyaman itu. Masih memeluk erat lengannya.

Wajah itu tak mengekspresikan apa pun. Namun sedikit menyiaratkan sendu ketika mencoba menyisir rambut lurus Shella dengan tangannya yang lain. Teringat akan penyusup yang diberitahu oleh alter-nya, Davin pelan-pelan melepas lengannya dari impitan pipi Shella. Sejenak Shella menggeliat, membuat Davin terpaksa jadi patung guna meminimalisir gerakan. Lalu membuang napas lega ketika Shella tetap terlelap bahkan saat Davin beranjak dan keluar dari kamar.

Davin tak mengunci pintu kamarnya karena merasa tak perlu. Seluruh ruangan punya lampu daruratnya masing-masing, termasuk lantai tangga. Membuat Davin tak perlu mencari cahaya lebih untuk menerangi jalannya.

Berbeda dengan penyusup itu; pastilah tengah jengkel lantaran rencananya tak sesuai ekspektasi.

Davin menghampiri dapur. Berlagak hanya ingin minum. Pura-pura tak melihat ujung jemari kaki di balik pintu kamar mandi yang sedikit terbuka. Dituangnya air dari ceret kaca ke gelas. Begitu telinganya mendengar sedikit bunyi decit pintu, diletakkannya gelas itu. Diam selama lima detik—menunggu derap langkah seseorang di belakangnya semakin dekat, tangannya tiba-tiba dengan ligat meraih pisau pembelah steik dari keranjang sendok, kemudian melempar dengan perhitungan singkat ke arah objek yang berdiri lima langkah di belakangnya.

Teriakan menggema. Anak panah tepat menusuk sasaran.

Pria yang tak terlalu kekar itu berlutut memegangi sebelah matanya yang banjir darah. Membuat sela jarinya juga ikut berlumuran cairan merah kental itu. Sebelah matanya yang masih utuh menatap tajam ke arah pemuda yang sudah berhasil membuatnya buta sebelah. Menggebu napasnya tak bisa berbuat apa pun ketika Davin membalas tatapannya dengan sorot terlampau dingin, berjalan menghampirinya dengan langkah tenang disengaja.

Davin jongkok, menumpukan sebelah lutut ke lantai. Meletakkan sebelah tangannya ke atas lutut yang lain.

Ditatapnya pria yang mendesah menahan sakit luar biasa di area matanya.

"Siapa tuan Anda, Sir?" Sopan dan dingin; ciri khasnya yang malah menyulut api ketakutan dalam dada orang yang dia ajak bicara.

Pria itu mendecih. Tampak tak habis pikir bisa-bisanya dia merasakan takut berhadapan dengan bocah di depannya ini. "Harusnya aku membunuhmu dari tadi. Tapi sialnya aku ditugaskan bukan untuk itu."

Mata Davin masih menyorot dingin. Ditatapnya pakaian renang yang masih melekat di tubuh pria itu. Sudah kering. Entah apa yang dikerjakannya berjam-jam sejak dia menyusup ke sini.

"Trus untuk apa?" Tanya Davin. Lagak tenangnya benar-benar tampak alami.

Napas pria itu makin memburu. Menggeram menahan rasa sakit di mata yang masih tertancap pisau itu.

"Membawamu hidup-hidup."

"Kemana?"

"Karna aku sepertinya bakal tetap mati, aku gak akan beri tau."

"Kenapa?"

"Bodoh. Karna itu janjiku pada tuanku!"

"Hmm," Davin manggut-manggut. "Ada hubungannya sama Erwin?"

Terdiam, pria itu lalu menjawab, "Ya. Erwin adalah anak tuanku."

Davin menghela napas. Mengangguk paham. "Partner Anda?"

Pria itu terbelalak. Tampak amat terkejut. "Maksudmu?"

"Nggak mungkin Anda sendirian ke sini. Mana dia?"

Pria itu menggeram lagi. Mendecih. Mengumpat. Lalu menghela napas, seolah menyerah. "Mati," Lirihnya pedih. "Tenggelam."

Davin mengangguk. "Danaunya dalam emang."

"Kamu..." Pria itu mengerang menahan sakitnya. Berusaha menatap Davin sesadar mungkin. "Siapa kamu sebenarnya Nak? Kenapa bisa anak sepertimu sesadis ini?"

Davin tersenyum simpul. "Kalo Sir datang dari pintu depan, aku bakal sambut seramah mungkin."

Darah merembes deras. Membasahi lengan pria itu. Membasahi lantai. Membuat dayanya melemah. Sebelah matanya yang masih utuh mulai mengerjap. Seolah kesadarannya sudah di ambang kematian.

"Aku berusaha sembunyi karna aku tau kamu bukan orang sembarangan Nak. Aku berencana membawamu hidup-hidup tanpa sedikitpun melukaimu, sesuai perintah. Tapi sepertinya tuanku terlalu menganggap remeh kamu, malah mengirim orang lemah sepertiku untuk menculikmu." Pria dengan satu bola mata biru gelap itu tertawa kering. Riang putus asa. Lalu menatap Davin seserius mungkin. "Larilah dari sini! Mereka mengincarmu. Gak akan menyerah sampai kamu berlutut di depan tuanku. Ini akibatnya kamu asal membunuh manusia, Nak."

Davin tak menjawab apa pun. Hanya mengangguk pelan.

"Agh.. agh..." Pria itu merebahkan dirinya ke lantai. Menghadap langit-langit. "Pisaumu menusuk otakku." Dia tertawa. "Kamu pemanah hebat Nak." Terbatuk, pria itu menatap Davin. Menatap nanar. "Sembunyikan mayatku. Tuanku akan marah kalau melihatku mati bodoh dengan cara seperti ini."

Tak lama, bola mata biru gelap itu semakin gelap. Tak lagi mengerjap. Tangannya yang berlumuran darah seketika terkulai. Tewas. Pria itu tewas. Amat jelas. Dan Davin, tetap diam. Memejam matanya sebelum beranjak. Memasukkan kedua tangannya dalam saku sweater. Sadar akan sesuatu yang terlihat dari sudut lirikan matanya, wajah dingin Davin sedikit bereaksi. Mula-mula kaget, lalu kembali tanpa ekspresi. Menatap kosong ke arah gadis yang berdiri tak jauh darinya. Dekat dengan tangga. Dekat dengan dinding.

Mulut mungil gadis itu terbuka, terperangah. Keterkejutannya menunjukkan bahwa adegan yang dia lihat bukanlah sepotong dua potong.

Dia seperti melihat keseluruhan.

"Sejakkapan di sana?"

Shella in the Davin's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang