delapan belas

1K 46 1
                                    

Kabar usaha bunuh diri Evelyn belum menyebar. Gadis itu juga masih diklaim koma. Seramai ini manusia di sekolah, sama sekali tak menarik perhatian Shella. Albert juga tak hadir. Jelas sudah cowok itu masih setia menunggu Evelyn hingga rela meninggalkan jam belajarnya di sekolah.

Shella yang duduk sendirian di kelas menegakkan kepalanya yang sebelumnya tertidur di meja. Menghela napas. Tak sabar akan jam pulang. Dia benar-benar ingin menjenguk sahabatnya, sekaligus menanyakan usaha Albert yang diberinya tugas untuk melacak keberadaan Erwin.

Erwin itu bukan hanya seorang guru biola. Dengan kecakapan dan kemampuan akademiknya yang brilian, dia juga berprofesi sebagai seorang dosen, pengusaha, bahkan model. Dilihat dari seleranya yang lumayan elit, Shella tahu bahwa Erwin hanya mengajar murid-murid tajir, yang mampu membayar mahal. Lantas bagaimana, orang yang tidak terlalu bermewahan seperti Evelyn, dapat menjadi salah satu muridnya?

Shella berhenti bertanya-tanya ketika pencernaannya memaksanya pergi ke toilet. Ini jam istirahat. Murid-murid lalu-lalang tebar pesona. Shella yang tak minat ke kantin malah berlarian menuju toilet perempuan. Dia baru ingat sebelum ke sekolah dia minum susu buatan Rachel begitu banyak.

Selesai buang hajat, Shella bergegas keluar dan berdiri di cermin wastafel. Membasuh tangan dan wajah pucatnya. Tercenung. Entah kenapa, dia sedikit membenci paras cantiknya itu.

"Di sini dia, lacur kelas atas."

Shella tak tahu pemilik suara itu. Dia pikir itu bukan ditujukan padanya. Namun ketika dirinya ditarik paksa dan punggungnya dihempas ke dinding, dia jadi sadar bahwa dialah yang baru saja dihina.

Cewek-cewek yang tadinya memoles wajah di depan cermin wastafel segera berhamburan keluar ruangan toilet. Tinggallah dia beserta empat cewek nyentrik yang tak dikenalnya.

Sebagai primadona, Shella hanya perlu dikenal, tidak untuk mengenal.

"Gue dari dulu nyari momen pas kayak gini. Si temen lo itu, siapa namanya? Evelyn? Sialan. Ganas banget. Muka sok imut kayak gitu hampir bikin gue babak-belur."

Selain menjadi sahabat yang sok polos dan sok imut, Evelyn juga bertugas menjadi bodyguard-nya di sekolah. Shella tahu itu. Wajar jika ketika Evelyn tak lagi di sisinya, Shella jadi tiba-tiba diserbu.

"Lo cewek yang udah bikin gue diputusin Eddie."

Shella memelas. Percaya diri sekali cewek di depannya ini. Berbicara di dekatnya tanpa memperhatikan bau napasnya yang berantakan.

Tiga cewek lainnya berdiri berkacak pinggang. Menonton.

"Gue nggak kenal sama lo."

Cewek berambut pirang terang itu lantas mencengkeram dagu Shella. "Kalo gitu, perkenalkan. Nama gue Andine. Jurusan Administrasi. "

Shella tepis kasar cengkeraman di dagunya. Berusaha keluar dari kurungan Andine beserta ajudannya. Mendecak sebal begitu usahanya tak berhasil. Andine kembali mendorong punggung Shella ke dinding.

"Apa sih!?"

"Gue denger lo orang kaya yang tiap hari disiksa bokap. Dan lo berhasil jeblosin mereka ke penjara."

Shella mengernyit. Tadi tentang Eddie—yang entah siapa. Kini malah membahas tentang latar belakangnya.

"Mau lo apa sih!?" Sengit Shella.

"Nggak banyak," Bisik Andine sembari menyelipkan rambut Shella ke belakang. Membuat Shella mendadak ingin muntah. "Gue cuma pengen tau. Apa yang menarik dari cewek kayak lo?"

Shella terbelalak begitu tangan Andine menyentuh krah kemejanya. Membuka kancing satu persatu. Spontan saja Shella tampar wajah menyeringai itu. Mengatupkan kembali kancing kemeja yang sempat menganga.

Shella in the Davin's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang