lima belas

1K 45 1
                                    

Shella menekan bel rumah sahabatnya sudah tiga kali. Namun, pintu di depannya tak kunjung dibuka. Ketika menyerah karena pintu itu tak membolehkan dia masuk, Shella hampir menangis. Dia cemberut seperti anak kecil saat berbalik hendak meninggalkan rumah itu.

"Shella?"

Bunyi decit pintu yang terbuka, serta suara lembut familier itu spontan membuat Shella menoleh. Wajah kecutnya berganti lega.

"Mami!" serunya menghampiri sosok berkhimar yang membuka pintu lebar-lebar hanya untuk Shella masuki.

"Kamu baik-baik aja, Nak?" tanya wanita 40-an itu usai membalas pelukan Shella.

"Baik, Mami. Aku baik. Aku ke sini pen nyamperin Evelyn." Shella menatap khawatir. "Is she alright?"

Mata yang mulai berkaca, gerak refleksnya yang menahan isak, serta bibir yang gemetar itu, Shella merasa ada yang tak beres.

"Mami." Shella menyentuh kedua lengan wanita yang sudah dia anggap ibu sendiri itu. "Ada apa?"

Wanita itu tak menjawab. Dia justru langsung mengajak Shella menelusuri rumahnya, menuju sebuah kamar di lantai dua. Dia buka pintu kamar itu, mempersilakan Shella masuk. Dia meyakinkan Shella bahwa semuanya akan baik-baik saja bila hanya ada mereka berdua di kamar itu.

Shella mengangguk, mencoba masuk, membiarkan wanita itu yang menutup pintu. Kamar yang tak terlalu luas itu tampak rapi. Boneka beruang yang mereka dapatkan di acara pasar malam masih tertata di kasur Evelyn. Ada dirinya di pigura, terletak rapi di meja belajar. Semuanya tampak seperti biasa. Hanya satu yang tidak; wajah hampa Evelyn. Sorotnya kosong menatap tirai ungu yang berayun.

"Hei." Shella duduk di tepian kasur. Dia lupa akan roknya yang kotor. Disentuhnya tangan di atas pangkuan itu. Tangan yang amat dingin.

Mata hijau gelap Evelyn menoleh. Sedikit lebih hidup ketimbang sebelumnya. "Shella?"

Shella tepis keinginan untuk menangis. Dia berusaha sedikit lebih dewasa. Seperti yang selalu Evelyn coba lakukan ketika dirinya jatuh-bangun mempertahankan hidup.

"Lo kenapa?"

Senyuman yang lemah namun hangat; baru kali ini Shella melihatnya dari sosok Evelyn.

Evelyn bergeser sedikit, menyuruh Shella menyelonjorkan kaki karena saat ini kakinya masih berpijak pada lantai. Shella menurut. Benar-benar lupa akan roknya yang kotor.

"Udah sekolah hm?" Evelyn terkikik. "Lo nggak diserbu bunga-bungaan lagi, kan?"

Shella diam. Lalu bertanya pelan mengabaikan basa-basi Evelyn. "Kenapa?"

Senyum Evelyn surut. Matanya beralih menatap ujung kaki.

"Gue tau belakangan ini lo ketiban masalah mulu, tapi gue nggak pernah ada buat ngehibur. Gue juga nggak tau caranya. Gue takut ke rumah lo. Takut ngehubungi elo. Akhirnya gue cuma ngurung diri berharap lo baik-baik aja, tanpa gue."

Shella menyimak. Masih menggenggam tangan ringkih sahabatnya.

"Setelah lo bilang lo berhenti main biola karna alasan yang nggak mau lo kasih tau, gue dapat ilham buat ngambil alih keahlian lo. Gue pen ngehibur elo. Sesuatu yang bikin lo adem. Gue usaha buat bisa. Sampe nekat buat cari guru khusus, cuma untuk tampil berguna di depan lo." Evelyn tertawa kering. Dia abaikan air matanya yang entah sejak kapan sudah jatuh dari pelupuk matanya. "Gue ... gue pikir semuanya bakal baik-baik aja, Shel. Gue pikir, abis belajar, gue bakalan langsung bisa. Langsung ngehibur elo. Tapi, si brengsek itu ...." Evelyn tercekat. Terisak. Menatap Shella dengan gurat yang seolah menahan sakit.

Melihat itu, mendengar itu, Shella ingin menyangkal sesuatu.

"Gue ...."

Shella ingin menyangkal prasangkanya sendiri.

Shella in the Davin's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang