sepuluh

1.2K 56 2
                                    

Leon memilih pamit. Dia dijemput oleh mobil yang tadi mengantar dirinya dan Shella ke rumah Davin. Dan Shella yang berdiri di pintu tak menyadari mobil yang menjemput Leon adalah mobil yang sama.

Setelah Leon pergi, Davin dan Shella masuk ke rumah. Davin berjalan ke arah dapur, sedangkan Shella duduk di sofa ruang tamu.

Shella tersenyum begitu Davin datang membawa kotak P3K. Dan senyumnya berubah kaget ketika Davin malah duduk di meja kaca, tepat di depannya.

"Du-duduk di samping aja, Dav. Nggak baik buat jantung gue," kata Shella nyengir. Sayangnya Davin tak menggubris.

"Buka."

"Eh?"

"Celana lo."

"Dih mesum!"

Davin menatap datar. Melihatnya, Shella terkekeh geli.

"Iya-iya ih baper," katanya sambil menyingsing sebelah celananya hingga lutut. Tampak warna biru keunguan di kakinya. Membengkak sekaligus memerah. Shella takjub lantaran baru sadar kakinya semengerikan ini.

"Gue ambil air hangat dulu." Davin beranjak dan berjalan menuju dapur. Lalu kembali membawa baskom dan handuk kecil. Kemudian dia meletakkan benda itu di meja yang dia duduki.

Shella meringis begitu handuk basah yang dikompres air hangat itu menyentuh lebam kakinya.

"Dari kecil kayak gini, gue heran umur lo panjang."

Shella tersenyum sinis. "Dulu nggak separah yang sekarang."

"Kenapa lo nggak niat kabur?"

"Gue nggak bakat begituan."

"Lo bakat. Lo cuma takut."

Shella mengulum senyumnya. Alih-alih meringis, dia berkata pelan, "Lo ... sama Leon, sebenernya siapa sih?"

Davin tak menjawab. Dia hanya fokus mengobati luka lebam kaki Shella.

"Kenapa Leon, bisa masuk ke kamar gue, ngeletakin kamera tanpa sepengetahuan gue? Dan ..." Shella menggigit bibirnya. "Kenapa ... kalian bisa bahas-bahas Erwin?"

Tangan Davin terhenti. Sejenak tertegun, dia kembali mengompres lebam kaki Shella tanpa membalas apa-apa.

Tiba-tiba Shella terkekeh. "Kalian bukan anggota organisasi, 'kan?"

"Perlu konsekuensi buat jawaban yang lo tanyain."

"Konsekuensi?"

Davin menyeringai. "Lo perlu bayar sesuatu kalo pengen sesuatu. Untuk yang lo tanyain tadi, gue bakalan kasih harga mahal."

Shella mengernyit. "Serumit itu?"

Davin mengangkat bahunya tak acuh. "Nggak tau apa-apa lebih baik."

"Seakan-akan kalian tuh bahaya."

"Kalo emang iya, gimana?"

Shella masih mengernyit. "Gue perlu bayar pake apa supaya lo mau jawab pertanyaan gue? Duit? Lo kan tau sendiri burger kemaren aja gue maksa elo buat bayarin."

Davin terkekeh sinis. Harusnya Shella senang bisa mendengar kekehan cowok itu untuk yang pertama kali. Tapi, lantaran itu agak menyeramkan, Shella malah merasa ngeri.

"Kalo bahas uang, gue punya banyak. Gue perlu bayaran yang agak ... ekstrim."

"Ekstrim?" Shella mendadak jengkel. "Bisa nggak sih pake kosa-kata yang biasa-biasa aja!?"

"Dunia nggak bakal menarik kalo cuma jadi orang biasa."

"Kenapa lo mendadak cerewet gini, sih?"

Davin tak menjawab. Hanya mengangkat bahu.

Shella in the Davin's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang