47

798 52 12
                                    


Sekarang, di sinilah Shella. Masih di tempat yang tadi; menatap LCD raksasa di dinding gedung. Dia tutup rapat tudung hoodie-nya begitu presenter di layar menyatakan dengan gamblang bahwa sang pembunuh akan diadili dua hari lagi. Bentuk hukumannya belum diumbar lantaran sidang masih berlanjut.

Shella berbalik, berjalan di antara manusia lalu-lalang. Menepi ke trotoar dan melambai tangan ke arah taksi. Mobil itu berhenti, membuka pintunya untuk Shella. Beberapa saat kemudian, mobil itu ikut berbaur dengan kendaraan lain di jalanan raya. Lalu berhenti di depan sebuah gedung tiga lantai. Gedung yang lumayan jauh dari kota.

Usai menyodorkan ongkos, Shella buru-buru masuk ke gedung. Dia lewati dua penjaga yang tampak tak peduli padanya. Begitu sampai di resepsionis, dia sampaikan tujuannya pada seorang anggota berseragam tanpa topi. Pria itu tengah memanjakan tubuh gempalnya di atas kursi. Mengunyah makanan berlemak yang berserakan mengotori meja kerjanya.

"Saya mau jenguk," kata Shella terus-terang.

Awalnya pria itu tak terlalu peduli. Begitu Shella melepas tudung hoodie-nya, sipir itu spontan melebarkan matanya. Tertawa.

"Kamu, bukannya korban terakhir bocah itu ya? Mau menjenguk bocah itu? Aha, kalian pacaran? Dengan pembunuh?"

Shella menatap tidak suka. "Cuma temen sekelas."

"Teman sekelas, eeh? Jangan-jangan kalian sekongkol?"

"Bukan urusan Tuan. Saya cuma mau jenguk."

"Aah! Kamu mau temani dia tidur malam ini? Manis sekali!"

"Berhenti memperolok gadis, Tuan."

Seseorang berdiri di samping Shella. Dengan tubuh tegap proporsional, alis tebal dan mata sipit tak berkelopak. Berhidung mancung dengan bibir tipis. Wajah dan kulitnya pucat sepucat porselen. Kalau diimajinasikan, pria itu bak vampir Cina yang punya daya pikat aneh untuk menjaring mangsa, terutama wanita. Meski seragam Office Boy, ember serta alat pel mendominasi dirinya, itu tak mengurangi ketampanannya sedikit pun.

Hanya saja...

"Diam, sialan! Apa kamu sadar pangkatmu di sini apa? Dasar rendahan!"

Mendengar pelecehan seperti itu kejengkelan Shella serta-merta memuncak. Dia tatap tajam pria gempal itu. Berkata, "Ini salah satu alasan kenapa aku benci polisi. Berlagak berpangkat dan bisa ngelakuin apa aja, padahal bekerja cuman untuk duduk dan makan kayak babi. Dengar, Tuan. Walaupun lencana dan pangkat Tuan lebih tinggi dari Tuan ini, bukan berarti Tuan lebih baik darinya. Berhenti merendahkan orang sebelum bercermin dan beneran yakin kalo wujud yang ada di cermin itu wujud manusia, bukan binatang."

Senyap. Anggota lain yang tadinya bodo amat di meja kerja masing-masing spontan terpaku. Lebih-lebih pria yang baru saja Shella ceramahi itu. Dirinya kaget, tentu saja. Namun, karena sikap angkuhnya mungkin sudah mendarah-daging, ucapan seperti itu dari seorang bocah tak lagi mengena.

Dia mengibaskan tangan. Menyuruh pria OB itu untuk mengurus sisanya. Pria itu, yang juga sempat tercenung, dengan sopannya membungkuk sedikit. Mempersilakan Shella untuk segera ke suatu tempat.

"Omongan Nona tadi pasti bener-bener nusuk si Tuan." Pria itu tersenyum dengan sedikit kekehan. "Dia pasti terguncang."

Wah, Shella diajak bicara.

"Gitu ya?" respons Shella datar. "Bukannya dia keliatan nggak peduli?"

"Dia pasti terguncang. Saya yakin itu." Pria itu berhenti sejenak untuk meletakkan barang-barangnya ke tepi dinding. Lalu kembali menuntun Shella berjalan. "Saya rasa saya kenal Nona. Shella Arathorn, bukan? Anak yang sempat menjebloskan ortu palsunya ke penjara?" Pria itu tersenyum begitu Shella mengangguk singkat. "Nona kesini juga mau jenguk mereka?"

Mata Shella melebar. Kaget. "Mereka di sini?"

"Loh, jadi Nona belum tahu?"

Shella menggeleng.

"Wah, menarik. Bukannya itu bentuk dendam yang lumayan elegan? Nona bahkan nggak tahu di mana mereka dikurung."

Yeah, mau dikurung atau mati pun, Shella sebenarnya takkan pernah peduli.

Sampai di sebuah ruangan, pria itu membukakan pintu untuk Shella masuki. Shella manut, masuk ke ruangan kecil berisikan dua kursi di antara satu meja.

"Saya akan menjemput dia untuk Nona."

"Emh, Sir!" seru Shella, membuat pria itu menoleh. "Nama Sir, siapa?"

Pria itu tersenyum. Di saat melihat senyumnya itulah, Shella merasa seperti tak asing.

"Kento Nakagawa. Panggil saja Ken," katanya kemudian berlalu.

Shella bergumam sendiri. Mengernyit berusaha mengingat sesuatu. Beberapa detik, lampu bohlam seolah bercahaya di atas kepalanya. Dia tersentak sadar. Berseru, "Darren Nakagawa!"

**

Pria yang menyebut dirinya dengan nama Ken itu akhirnya masuk juga. Di belakangnya menyusul seorang cowok mengenakan borgol, berseragam navy layaknya penghuni sel. Wajah babak-belurnya tercengang menatap Shella. Tak percaya gadis itu bisa ada di sini.

Sedangkan Shella, langsung tertuju pada wajah Recky yang terluka. Sebelah mata cowok itu dikelilingi warna biru mengerikan. Pangkal hidungnya sobek. Bibirnya juga. Jelas sudah bahwa itu adalah luka akibat adu tinju.

Shella yang berdiri di hadapan Recky serta-merta menoleh garang ke arah Ken.

"Jangan bilang ini ulah polisi."

Ken menggeleng. "Itu ulah penghuni di sini, Nona. Siapa pun orang baru yang masuk selalu dapat jatah seperti ini. Minimal seminggu mereka bakal jadiin orang baru seperti mainan."

Mendengarnya Shella merasa sakit. Kembali dia tatap Recky. Dia ulur tangan kanannya untuk menyentuh lembut pipi cowok itu. Tersenyum getir.

"Sori."

Recky yang sempat termangu berusaha tak terbawa suasana. Dia tahan tangisnya, meski dia tahu pandangannya memburam karena air mata.

Dia genggam tangan halus Shella. Menunduk. Terisak di sana.

Shella menyesal sudah terlambat menjenguk. Tak bisa dia bayangkan betapa dalamnya rasa takut cowok itu berada di sini sendirian sembari menunggu dia akan diadili. Betapa menakutkannya menunggu datangnya kematian di saat sendiri. Betapa merontanya jiwa itu ingin bebas namun terjebak kaku di sini. Shella merasakan betul betapa sulitnya tidur nyenyak di saat pelik seperti yang Recky rasakan saat ini.

Shella peluk cowok itu, membiarkan bahunya basah untuk yang kedua kali. Takkan dia biarkan ini berlarut. Apa pun caranya, akan dia selamatkan Recky. Akan dia wujudkan keadilan yang dia mau.

Dan di sinilah, semuanya akan dimulai.

**

"Dia bakal ditembak mati, disaksikan keluarga korban. Kira-kira dua hari lagi. Sebenarnya umurnya belum cukup. Tapi, yeah, hakim bakal kalah di hadapan amuk massa."

Alih-alih soal Recky, Shella kini malah penasaran dengan pria yang berusaha menyamakan langkah dengannya. "Sir ini Office Boy, kan?"

"Ya."

"Kenapa bisa manggil tahanan?"

"Aah. Well, sebenarnya, walaupun saya OB, saya punya dekingan yang bikin posisi saya bisa setingkat lebih tinggi dari mereka."

"Bekingan?"

"Ya. Nona pasti tahu."

Keluar dari lobby, Shella berhenti hanya untuk menatap pria itu leluasa. Bertanya pelan, "Rachel?"

Terenyak, pria itu lalu tertawa renyah. "Sulit dipercaya, bukan? Well, Rachel emang nggak bisa bikin saya nyamar jadi opsir. Tapi menjadi OB sepertinya bukan masalah."

Shella merasa dagunya akan jatuh.

"Pulang dengan hati-hati, Nona." Ken mendekat sedikit. Berbisik, "Recky aman dengan saya."

Shella in the Davin's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang