dua puluh empat

1K 41 2
                                    

Shella dipakaikan handuk kimono. Kini dia didudukkan di sebuah ruangan persegi luas lengkap dengan sofa dan kasur king size. Ada meja hias di sana, dan di depan benda itulah dia duduk.

Aroma lavender memenuhi kamar itu. Gorden menutupi satu sisi dinding. Mungkin di baliknya ada pintu yang terhubung dengan balkon atau mungkin hanya dinding kaca.

Dapat Shella lihat dari cermin sosok yang tengah berkutat di lemari empat pintu di samping kasur. Layaknya seorang gadis, sosok itu tampak bingung memilah baju yang tergantung rapi di gantungan pakaian.

Selesai, Shella cepat-cepat menunduk ketika sosok itu menghampirinya.

"Nih." Keith meletakkan sehelai pakaian di meja hias. "Pake. Gue kasih waktu dua menit."

Shella mengernyit ketika Keith sedikit menjauh dari posisinya, kemudian berdiri membelakanginya. Karena tak ingin mengabaikan titah yang akan membuatnya ditampar lagi—minimal—Shella buru-buru beranjak. Dia menggunakan waktu dua menit untuk mengenakan pakaian yang diberikan Keith. Usai itu, dia tatap dirinya di cermin, kian tercengang akan pakaian yang melekat di tubuhnya; sweater panjang hingga lutut. Tidak, bukan itu yang membuatnya melongo. Lihatlah gambar hewan di sweater mocca ini.

Seekor kucing!?

"Ah! Imutnya!"

Shella tersentak kaget. Entah sejak kapan Keith sudah berdiri di sampingnya. Keith memegang kedua bahunya, membuatnya terpaksa menghadap cowok itu secara menyeluruh. Dia tetap diam bahkan ketika Keith tersenyum riang meski ekspresi kosongnya sangat mengganggu.

"Ini baru kucing." Keith kembali mendudukkan Shella di depan meja hias. Shella pantau cowok yang sedang berdiri di belakangnya itu. Patuh ketika Keith menyuruhnya mengambil sisir.

Rambut basah Shella disisir olehnya. Tanpa kekerasan. Juga tanpa seringai di wajahnya. Seolah-olah cowok itu malah tampak menikmati adegan itu.

Shella benar-benar shock sekarang.

"Tadi gue hampir mati lo kasih ikan mentah, juga pipi gue masih perih habis lo tampar. Dan sekarang lo berubah jadi pelayan sampe nyisirin rambut gue segala?" cerocos Shella yang ingin mencoba tak takut lagi untuk bersuara. Dia pikir kepalanya akan dibenturkan ke cermin sebagai bentuk respons dari Keith, tetapi nyatanya cowok berwajah Davin itu malah tersenyum menatap Shella melalui cermin.

"Lo bisa jadi ratu kalo lo patuh."

Shella masih tak habis pikir. "Lo beneran nganggap gue kucing?"

"Ya."

"Kenapa lo nggak ambil kucing asli?"

"Ada. Tuh," tunjuk Keith menoleh ke belakang. Shella ikut menoleh. Dia baru sadar ada seekor kucing ras tengah terlelap di antara dua bantal kasur. Lantas kembali mereka menghadap ke depan.

Keith menyisir rambut Shella dengan sikap tenang. Sementara Shella masih melongo melihat wajah Keith di cermin.

"Gue punya banyak obsesi. Gue suka nyiksa target yang punya banyak dosa. Gue suka cewek tapi ck." Keith berdecak. "Gue nggak tertarik sama seks—padahal gue seganteng ini. Gue juga suka kucing. Sebenernya karna lo saksi tewasnya cowok kemaren, lo harus ikut mati. Tapi yaa, seenggaknya gue pengen main-main dulu."

Shella menghempas napas, memejam matanya. Berusaha dia netralkan detak jantung akibat kekagetannya yang kentara.

"Well, gue nggak niat jadi psikopat di depan lo. Kadang, gue suka ngamuk nggak jelas kalo nggak ada target buat dimainin. Karna itu, supaya lo tetep hidup, gue musti nganggap elo sebagai piaraan. Karna gue nggak bakal pernah bunuh piaraan. Kalo enggak, kalo gue ngeliat elo sebagai cewek yang naksir Davin, lo udah jadi korban mutilasi tadi siang."

Keith terkekeh melirik mata Shella yang membelalak. Dia buka laci meja, meraih bando hitam bertelinga kucing. Dia pakaikan benda itu di kepala Shella. Meski bibirnya tersenyum, sorot kosongnya seperti tak menyiratkan apa pun.

Sedangkan Shella melihat dirinya sendiri dengan tatapan nanar.

"Sori udah bikin lo puasa seharian. Sebagai majikan yang baik, gue harus ngasih elo makan."

Shella bergidik melihat tangan Keith yang terulur. "Gue sama sekali nggak masalah sama puasa asal nggak makan ikan mentah," sahutnya seketika.

Keith terpingkal sambil menutupi kedua matanya dengan sebelah tangan. Lalu kembali dia memandang Shella, sekali lagi mengulurkan tangan.

"Don't sweat it, Catty. Ikan mentah tadi cuma becanda."

**

Kaki jenjang Leon melangkah cepat. Wajah pucat porselennya tampak gusar. Dia lewati Rachel yang baru saja keluar dari salah satu ruangan, mengabaikan panggilannya. Sampai di salah satu pintu baja, dia hadapkan wajahnya ke interkom. Buru-buru masuk setelah daun pintu terbuka.

Leon hampiri Albert yang tengah berkutat di depan laptop.

"Udah ketemu?"

Albert mendongak memastikan siapa yang datang, lalu kembali fokus menatap monitor begitu lega itu Leon. "Belum. Tapi gue berhasil nyuri data CCTV di persimpangan komplek. Mobil yang lewat sepuluh menit sebelum mobil kita masuk tuh ternyata mobil Erwin. Keith pasti make itu mobil."

"Trus mobilnya sekarang di mana?"

"Nggak bisa dilacak. Keith mungkin ngerusak sistem navigasi. Tapi gue punya petunjuk terakhir rute perjalanan Keith." Leon mendongak memandang lekat wajah Leon. "Luar kota."

Leon mengernyit. "Luar kota? Sejauh itu!?"

"Lo tau alamat rumah Davin di luar kota?"

"Gue tau dia kaya. Tapi dia nggak pernah cerita dia punya rumah di luar kota. Sir Darren mungkin tau. Tapi kita coba cari sendiri dulu. Lo udah coba lacak handphone Shella?"

Albert mengangguk, mengotak-atik laptopnya. Membuat hasil rekaman video berlangsung di monitor.

Leon membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke monitor. Menatap serius.

Tak ada suara di video itu. Hanya gelap berkepanjangan. Namun Leon tetap tak mengubah posisinya. Begitu Albert mempercepat durasi, wajah serius Leon berubah terperangah perlahan.

"Ikan ... air!?" seru Leon. Albert membenarkan dengan mengangguk.

"Keith emang bisa ngancurin jejak navigasi, tapi dia lupa kamera juga berfungsi. Mungkin dia ngebuang handphone Shella ke dalam air pas hari masih gelap. Karna jarak waktu gelap ke terang itu satu jam kurang, Keith pasti buang handphone Shella ke kolam yang dekat dengan persembunyiannya. Lo liat kan ada ikan lewat? Itu bukan ikan laut. Itu ikan air tawar. Karna sinar matahari keliatan jauh nembus air, gue rasa itu kolam ikan yang dalam. Luas. Apa yang lebih masuk akal?"

Leon berdiri tegap, membalas tatapan Albert. "Danau."

"Hm." Albert mengangguk pelan. "Danau. Mereka ada di sekitaran danau. Tapi tepatnya di mana?"

"Ada banyak danau di luar kota. Mungkin di pedesaan. Gue pernah denger Keith sering ke pedesaan cuma buat ngeliat kucing. Pas gue tanya boleh enggaknya gue ikut, dia malah ketawa. Trus bilang kalo," Leon menyeringai, "gue bakal dimutilasi kayak ortu gue dimutilasi kalo gue berani ikut."

Wajah Albert mendadak dingin. Kembali dia lihat monitornya. Berkomentar, "Gue heran kenapa gue bisa betah temenan sama monster kayak kalian, guys. Asli. Kapan coba, gue bisa hidup normal?"

Shella in the Davin's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang