dua puluh

1K 42 0
                                    

Derap langkah high heels mengisi lorong tangga yang sunyi. Ujung rok setumit kakinya berayun mengikuti irama langkah. Dia menghela napas ketika sampai di sebuah ruangan tenang yang diterangi cahaya lembut. Kilau botol kaca yang berjejer menjadi daya tarik tersendiri. Tak banyak orang di sini. Salah satunya tengah duduk di dekat meja bartender, meneguk gelas kaca tebal berisikan bir.

Wanita yang kini mengubah rambutnya menjadi lurus dan dibiarkan tergerai itu duduk di salah satu bangku bundar tepat di samping seorang pria berjas hitam rapi menyembunyikan kemeja dan setengah dasinya. Kacamata tanpa bingkainya bergantung di saku jas. Rambut yang biasa rapi mengkilap itu kini sudah acak-acakan. Begitu menyadari seseorang duduk di sampingnya, wajah lelahnya berganti senyum hangat. Dia singkirkan Bud Light itu hanya untuk menghadap wanita di depannya secara leluasa.

"Hei."

Rachel tatap sejenak Bud Light itu sebelum memelas menatap Darren. "Pengen mabuk?"

"Cuma bir ringan," Kilah pria itu, si Darren, sambil tetap tersenyum.

"Dua bulan yang lalu kamu juga bilang 'cuma bir ringan' eh besoknya rapat penting yang seharusnya lancar jadi berantakan gara-gara pidato ngawur kamu!"

Darren terkekeh. "Begitukah cara kamu ngomong di depan seorang presdir?"

Senyum kecut Rachel mencairkan suasana. "Ada perlu apa manggil aku ke sini?"

Darren tak serta-merta menjawab. Dia ambil gelas birnya. Namun, dengan cepat tangan Rachel menepuk punggung tangannya, kemudian merebut gelas bir itu untuk diberikan kepada pria berbusana koki yang bertugas sebagai bartender. Tersenyum geli bartender itu menerima gelas yang disodorkan Rachel.

Sementara itu, Darren hanya termangu. Rachel menatapnya garang.

"Silakan minum sepuasnya kalo aku udah pergi."

Bukannya jengkel, Darren hanya membuang napas pasrah. Lagi-lagi tersenyum.

"Apa kabar Shella?"

Rachel melotot kaget. "Nyuruh aku ke sini cuma untuk nanyain Shella?" Sahutnya disusul dengusan. "Seolah-olah aku nggak becus ngurus anak-anak."

Darren memutar posisi bangkunya, membelakangi meja bartender. Sementara kedua tangannya dia tekukkan ke tepian meja. Dia tatap lukisan kastil kuno di dinding seberang.

"Pertemuan terakhir kemaren, pidatoku nggak terlalu didengar. Dia melamun. Kupikir mungkin dia punya masalah..."

"Bukannya itu anak dari kecil udah biasa sama masalah?"

"Yeah." Darren terkekeh. "Seenggaknya lepas dari Isla dan Benedict dia harusnya sedikit lebih bahagia."

Rachel menghela napas. "Kemaren dia cerita sih, temennya abis bunuh diri. Aku kewalahan nenangin dia kalo udah nangis."

Senyum Darren berubah sendu. "Pantas.. dia sesedih itu." Dia menoleh menatap Rachel kembali. "Bunuh diri karna apa?"

"Diperkosa. Parahnya, pelakunya itu si cowok yang dulunya pernah ngelecehin Shella."

Darren manggut-manggut. "Bereskan masalahnya."

"Aman. Kusuruh salah satu anak asuh kamu yang andel."

Darren senyum. Dia amati lagi lukisan kastil itu.

"Hei," Panggil Rachel usai membiarkan keheningan tercipta di antara mereka. "Jujur aku kaget sekaligus senang pas tau presdir yang terhormat ini ternyata berhubungan erat dengan ibunya Shella. Kamu yang mendirikan salah satu perusahaan gelap, yang penuh sama karyawan-karyawan aneh yang kamu anggap sebagai anak asuh, yang dengan tegas ngasih perintah untuk ngancurin mafia-mafia merugikan, yang seribu langkah lebih unggul dari polisi. Kenapa.. kenapa nggak dari dulu kamu nyelamatin Shella? Sekedar nyepak Isla dari kekuasaan nggak sesulit bikin gubernur bertekuk lutut di hadapan kamu, kan?"

Shella in the Davin's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang