44

789 25 1
                                    

Ini kedua kalinya Shella menunggu Recky latihan basket. Selesai ekskul, dia tunggu cowok yang tengah mandi dan berganti pakaian itu hingga selesai. Dirinya yang duduk bermenung di bangku koridor sontak beranjak begitu Recky menghampirinya.

Recky tersenyum. Handuk kecil bertengger di rambut basahnya.

"Lo beneran nungguin gue?" tanyanya takjub.

"Nggak ada temen pulang soalnya."

"Jadi gue musti ngantar elo pulang lagi?"

"Ah, enggak gitu maksudnya," ringis Shella. "Yaudin kalo keberatan gue balik duluan."

"Aela baper. Sama sekali nggak keberatan kok. Yuk jalan."

Mereka jalan beriringan. Sekolah mulai sepi. Matahari sebentar lagi meredupkan sinar. Sesuai titah, Shella harus bisa menggaet Recky ke rumahnya. Dia jenuh menunggu kelarnya kasus ini. Bukan berarti dia tak ingin bersama Recky. Dia hanya ingin kejelasan tentang benar-tidaknya Recky menjadi dalang timbulnya kasus belakangan ini.

Tentu saja, dia berharap Recky tak ada hubungannya dengan kasus itu.

Lagian, polisi kenapa sebegitu lelet sih, mencari pelaku? Jangankan pelaku, tersangka saja mereka belum punya. Segitu sulitkah menemukan barang bukti? Shella sungguh bertanya-tanya.

Berpikir tentang barang bukti, Shella jadi kepikiran perkataan Albert saat di kelas tadi. Dia bilang, barang bukti yang paling spesifik itu pastinya sebilah belati. Kalau Shella ada kesempatan, dia diminta untuk mengusai isi tasnya Recky. Saat Albert mengatakan itu, langsung saja Shella cubit dengkulnya. Jengkel karena Albert meminta dirinya melakukan hal yang pastinya sulit untuk dilakukan.

Atas alasan apa Shella harus mengusai tas cowok itu?

Shella menghela napas. Berjalan lesu. Menyadari itu, Recky bertanya pelan, "Kenapa Shel?"

Seolah tersadar, Shella spontan berjalan tegap. Tersenyum. "Nggak. Nggak papa."

Recky mengangguk. Menatap ke depan. "Belakangan ini lo aneh. Tumben-tumbennya mau jalan sama gue."

"Ng, itu..."

"Gue jadi mikir kalo gue tuh jadi pengusir sepi pas Davin nggak ada." Terkekeh, senyumnya tampak lembut ketika menoleh sejenak ke arah Shella. "Tapi nggak papa kok. Gue tetep seneng."

Shella membuang napas. Balas tersenyum. Kembali serentak menatap ke depan.

"Sebenernya sih, gue khawatir," kata Shella pelan. Menyesuaikan ekspresi dengan suasana hatinya yang sebenarnya.

"Khawatir?"

"Hm." Shella tertawa. "Percaya nggak percaya, gue tuh tipikal orang yang kelewatan peka, lho. Makanya, ngeliat lo aneh belakangan ini.." Shella tersenyum sendu, "gue jadi khawatir."

"Khawatir? Sama gue?"

Shella menoleh. Mendongak menatapnya sembari tersenyum lebar. "Cari kafe yuk! Gue pengen pancake."

**

Dinding kaca disusupi mentari senja. Titik-titik lampu mulai berkedip di banyak gedung. Dari ketinggian gedung 20 lantai ini, Darren menatap kosong langit jingga. Tetap tak berkutik bahkan ketika pintu ruangannya terbuka, menandakan seseorang masuk menghampirinya.

"Kalo cemas Shella kenapa-napa, kenapa malah jerumusin dia ke suatu kasus?"

Darren menoleh. Wanita berjas disambung rok sedengkul itu berdiri di sampingnya, dengan rambut oren lurus dikucir rapi dan riasan bibir merah hati, layaknya wanita kantoran nan dewasa.

Siapa sangka, di balik jas dan rok yang melekat di tubuhnya itu terdapat beberapa benda berbahaya yang cukup mempermudah urusan yang dia punya.

Darren tak berekspresi. Kembali menatap langit jingga. "Kupikir dia menolak."

Shella in the Davin's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang