dua puluh tiga

980 39 13
                                    

Cahaya di celah papan yang menutupi jendela perlahan semakin terang. Ruangan ini dingin dan penuh debu. Jarak antara mereka semakin suram seiring terucapnya kenyataan yang tak bisa Shella terima. Sesak napasnya terbenam dalam keterkejutan. Napasnya keluar-masuk melalui mulut seolah-olah hidungnya tak lagi berfungsi.

Air matanya jatuh tepat ketika dia menunduk.

Adakah gadis yang lebih menderita dari dirinya?

Bagaimana bisa dia terlanjur jatuh hati pada seorang pengidap kepribadian ganda?

Bagaimana bisa dia terlanjur jatuh hati pada seorang.. pembunuh?

Ini jauh lebih menyakitkan dari dugaannya. Terlebih kini dia bakal jadi korban.

Kenapa selalu saja dia ditimpa ngerinya permasalahan?

"Lo sekaget itu?" Nada lembut mengerikan itu semakin membuatnya sakit. Dia coba mengangkat wajahnya.

Senyum di wajah dan sorot yang sama-sama datar itu seperti tak memiliki sedikit pun emosi.

Seperti seorang psikopat.

"Gue mau ketemu Davin."

Raut Keith berubah. Tanpa senyum, juga pastinya tanpa ekspresi.

"Segitunya lo pengen ketemu Davin?"

"Davin temen gue, satu-satunya cowok yang tulus temenan sama gue, nolongin gue. Dan lo mau ngancurin usaha baik Davin dengan nyakitin gue kayak gini?"

"Gue nyakitin elo?"

"Seenggaknya biarin gue ngomong sama Davin!"

Senyum tipis Keith kembali terukir. Kepalanya menggeleng. "Davin lagi tidur. Dan gue bakal bikin dia tidur sampai kapanpun gue mau. Gue profesional, Nona. Cerita hayalan lo nganggap Davin ngasih perhatian lebih nggak bakal bikin gue ngelepasin piaraan baru."

Shella benar-benar tak memahami kekagetannya. Air mata yang meluncur dari matanya yang merah tak sedikitpun membuat Keith mengubah wajahnya menjadi lebih hangat hanya untuk sekadar menghibur gadis itu. Senyumnya tetap mengerikan. Sorot dan rautnya tetap kosong. Seolah-olah dirinya adalah daging yang tercipta tanpa detak jantung dan hati.

"Lo tau peran Davin dan gue apa?" Keith melangkah lebih dekat lagi. Sebelah tangannya bersembunyi dalam saku sweater. Sebelahnya lagi menyentuh dan mengusap area telinga dan rahang Shella. Memaksa gadis itu untuk mendongak menatapnya. "Gue bukan pembunuh yang sekedar pengen main-main sama nyawa orang. Semuanya perlu target, Nona. Dan Davin punya tugas buat nentuin target. Selebihnya, gue yang urus."

Shella berusaha menyingkirkan tangan Keith dari kepalanya. Namun cengkeraman Keith di dagunya membuat usaha itu sia-sia.

"Sesuatu yang lo anggap perhatian lebih dari Davin cuma manifestasi yang lo buat sendiri. Berapa banyak cewek yang ngaku punya hubungan lebih sama Davin terpaksa mati gue bunuh? Davin nggak bakal pernah punya perasaan konyol kayak gitu, dan gue punya tugas untuk bikin Davin selalu tetap kayak gitu. Tapi karna lo di posisi yang beda, lo nggak bakal berakhir kayak mereka. Cukup manut jadi piaraan gue. Selama yang gue liat itu elo, lo nggak bakal pernah ketemu Davin. Jadi, jangan sebut nama Davin lagi."

Shella sedikit terisak. Mengundang seringai dari mulut Keith.

"Pikirin itu baik-baik." Keith melepas cengkeraman. Berjalan menjauh. "Gue cabut dulu," Katanya lalu berhenti di ambang pintu. "Oh iya," terkekeh dan menoleh, "jangan coba bunuh diri ya, kalo lo nggak mau tau arti tewas yang sebenernya."

Pintu ditutup keras, menerbangkan debu. Shella menunduk. Termangu. Matanya yang melotot menunjukkan keterkejutan yang nyata. Air matanya terus jatuh. Kiat untuk tetap tenang sepertinya tak berjalan mulus. Ini benar-benar di luar dugaannya. Di luar nalarnya. Jadi piaraan? Apa-apaan!?

Shella in the Davin's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang