45

3.3K 104 65
                                    

Rumah Shella mulai tampak. Di seberang jalan, sepuluh meter dari rumah Shella, mata Recky menangkap mobil sport putih yang waktu itu parkir di depan rumahnya. Kini, mobil itu berdiam diri di bawah naungan daun rimbun. Kacanya yang serba hitam seolah-olah menyembunyikan sesuatu.

Shella melewatkan ekspresi aneh Recky yang tergurat sekilas.

Mereka berdua berhenti. Shella lihat wajah Recky di bawah sinar lampu tiang untuk kesekian kali.

"Thanks," kata Shella memaksimalkan senyum manis. "Hati-hati."

Shella melambai, berjalan ke rumahnya. Sudah diputuskan; kalau Recky tak kunjung memanggilnya, Shella sendiri yang akan memaksa cowok itu untuk masuk ke rumahnya.

"Shella."

Sedikit setrum menyentak jantung Shella. Dia gigit bibirnya, mengondisikan wajah sebelum menoleh.

"Gue.. di rumah, ada masalah keluarga." Senyum Recky seperti menyiaratkan permohonan mutlak. "Mumpung besok libur, gue boleh nginap, kan? Gue nggak bisa pulang."

Terang saja, mendengarnya, mata Shella melebar seketika.

Namun, Shella tutup keterkejutannya dengan senyuman. "Boleh, asal lo tidur di ruang tamu."

Recky ikut senyum, mengangguk. Saat Shella membuka pintu rumahnya, Recky menyempatkan diri untuk melirik mobil sport putih yang masih diam di sana. Lalu dia hampiri Shella. Manut ketika disuruh masuk.

"Sodara-sodara lo nggak nginap sini lagi?" tanya Recky seraya melepas sepatu ketsnya. Lalu dia gantungkan mantelnya di tempat gantungan.

"Nggaklah. Emang rumah gue tempat penginapan, apa?"

Padahal Leon dan Albert sedang bersiaga di lantai dua, di kamarnya. Shella dan Recky dipantau melalui kamera CCTV yang sudah dipasang Albert jauh sebelum ini. Seolah-olah dia yakin cepat atau lambat Shella pasti berhasil membawa Recky ke rumah.

"Lo duduk. Gue bikin minum dulu."

Recky meletakkan ranselnya di meja sembari duduk bersandar di sofa. Helaan napasnya panjang. Begitu dia coba memejam mata, seringai dan suara mengerikan milik seseorang spontan memenuhi benaknya. Membuatnya kembali membuka mata. Mengernyit merasakan sesuatu seperti menggebu memukuli dadanya.

Dia menghela napas lagi. Tersenyum getir. Baiklah, dia harus segera mengakhiri ini.

"Gue tau lo lagi nyembunyiin sesuatu," ujar Recky ketika Shella meletakkan nampan berisikan dua cangkir teh di atas meja. Cowok itu tampak lebih tenang, tersenyum tipis menatap Shella yang sungguh dalam hati berusaha keras untuk tidak gemetar.

"Maksud lo?" Shella pura-pura terlihat tolol.

"Gue tau lo lagi nyelidikin gue."

Shella tahu bungkamnya secara tak langsung membenarkan perkataan Recky. Tapi begitulah adanya. Dia tak bisa bersikap tenang lebih dari ini.

"Nyelidikin.. elo?"

Recky menyeringai. "Semua cewek yang mati sebelum lo emang cewek murahan yang segitu gampang persilakan gue masuk dan nginap di rumah mereka. Dan lo, yang notabenenya selalu nolak gue antar pulang, malah tiba-tiba dengan senang hati nerima gue buat masuk ke rumah lo. Lo pikir sampe sana gue nggak ngerasa aneh? Cewek yang sempat trauma karna selalu disiksa ortu palsunya, tiba-tiba percaya sama cowok yang nggak jelas asal-usulnya."

Shella benar-benar tak mampu merespons selain terpaku.

"Sori Shel. Gue terpaksa ngasih tau yang sebenernya ke elo."

Shella terbelalak begitu Recky meletakkan sebilah belati berbungkus lilitan perban, keluar usai Recky merogohnya dari dalam ransel. Recky letakkan benda itu di atas meja. Tersenyum pada Shella.

Shella in the Davin's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang