tiga

1.4K 63 23
                                    


"Maaf ganggu. Saya lagi nyari murid saya. Saya lihat dia kabur ke sini. Boleh saya periksa rumahnya?"

Davin tak menjawab apa pun. Tatapannya yang terkesan malas di wajah datar itu mengundang kekehan Erwin.

"Dia anak nakal. Bukan mustahil dia nyelinap masuk tanpa sepengetahuan kamu. Boleh saya periksa sebentar?"

Davin memblokir langkah Erwin. Mengundang kernyitan di kening berdarahnya. Menyiratkan tidak suka.

"Nggak ada siapa-siapa di sini," kata Davin datar.

Erwin senyum, menunjuk lantai yang kotor. "Murid saya hujan-hujanan. Mungkin lantai kamu ini bisa dijadiin bukti kalo murid saya--"

"Gue juga basah," sela Davin. "Orang yang lo liat lari ke sini tuh gue, bukan murid lo."

Erwin terenyak sebelum terkekeh.

"Bukan mustahil buat dia untuk nyelinap di rumah kamu sebelum kamu datang," kata Erwin mencoba melangkah masuk. Namun lagi-lagi Davin menghalangi langkahnya.

"Pintu gue kunci," balas Davin sembari memperlihatkan kunci rumah yang dia keluarkan dari saku celananya, kemudian memasukkannya kembali. "Cek aja rumah lain."

Erwin menatap tajam. "Dengan menghalangi saya kayak gini bikin kamu seolah-olah lagi nyembunyiin sesuatu lho."

"Hm, nggak salah sih." Davin tersenyum tipis. "Ada sesuatu yang nggak boleh orang lain liat."

Erwin diam.

"Gue nggak normal."

Erwin mendesah. Senyumnya sinis. Rautnya tak habis pikir. "Psikopat?"

Davin menyeringai. Mengangkat bahunya. "Masih ngotot masuk?"

Erwin tak menjawab seakan menahan diri untuk tak lagi mencoba melangkah. Melihatnya membuat Davin undur diri, menyiratkan Erwin agar segera pergi. Kemudian  pintu ditutup. Dikunci hingga level terakhir.

Begitu menoleh, Davin lihat sosok berantakan tengah berdiri di dekat lemari hias. Menatap dirinya.

Mereka sama-sama kuyup.

Hening sejenak. Usai membuang napas, Davin berjalan melewati Shella yang mematung. Wajahnya seperti tak ingin memulai percakapan. Hingga Shella dibiarkan sendirian di ruang tamu dalam waktu yang lumayan lama.

Shella kembali memeluk kedua kaki di dinding. Dia pandang kosong lantai yang kotor karena kakinya. Perut dan kepalanya nyeri. Darah dari hidung sudah berhenti merembes. Dingin. Bibirnya bergetar. Pucat. Shella merasa tubuhnya menggigil hebat.

Apakah dia akan dibiarkan saja seperti ini oleh Davin?

Shella tak habis pikir pertemuan kedua mereka bisa seaneh ini. Yeah, walaupun Shella tak bisa menjamin keramahan Davin, setidaknya dia musti bersyukur karena Davin telah murah hati menyembunyikannya. Setidaknya, dia belum mati hari ini.

Meski sebelumnya dia benar-benar ingin mati.

Shella tiba-tiba tertimpa sesuatu. Benda hangat. Seperti selimut. Ah, tidak. Shella meraih benda itu dari kepalanya. Ini ... handuk.

Shella mendongak. Ada Davin yang tengah berdiri menyandarkan punggungnya di dinding. Wajahnya segar. Seragamnya yang kuyup sudah berganti kaus putih polos dan celana santai hitam. Tangannya bersilang. Wajahnya datar dengan sorot kosong menatap Shella.

"Buruan mandi," katanya pendek. Kemudian lagi-lagi berjalan meninggalkan Shella. Hilang entah kemana.

Shella menghela napas. Davin bertingkah seolah-olah Shella adalah teman akrabnya yang sering datang ke rumah. Apakah dia harus keliling rumah dulu supaya bisa mandi?

Ayolah. Setidaknya tunjukkan pada Shella posisi kamar mandinya di mana!!

*

Dengan langkah tertatih Shella kembali ke ruang tamu. Pakaian yang dikenakannya sudah berganti. Sweater dan celana trening yang dipinjamkan Davin sama-sama kebesaran. Namun, wangi dan hangatnya sweater yang dia pakai membuatnya nyaman.

Shella duduk di sofa. Menerawang ruang tamu yang remang. Lantai sudah bersih. Suara hujan masih kedengaran. Dingin. Shella memeluk lengannya. Menghela napas.

Kepalanya masih nyeri. Perutnya juga. Disentuhnya pipi yang memar. Perih. Disingsingnya sebelah lengan sweater guna memeriksa keadaan siku. Dia meringis. Baru sadar akan sikunya yang tergores cukup parah.

Goresan yang dalam. Masih mengeluarkan darah. Bagaimana dia bisa tak menyadari ini ketika mandi tadi?

Ah iya. Pikirannya sedari tadi dipenuhi wajah brengsek Erwin yang menyakiti dirinya. Sampai-sampai dia lupa ada luka yang musti diberi perhatian.

Rasanya Shella ingin menangis sekarang juga.

Davin tiba-tiba datang. Diletakkannya segelas air hangat di meja kaca. Shella mendongak. Davin masih menatapnya tanpa ekspresi.

Shella tersenyum kecut. "Itu muka atau aspal sih?"

Davin tak menanggapi. Shella meneguk air hangat yang diberikan Davin saat cowok itu berjalan menuju lemari kecil di ujung ruangan, menguasai isi laci. Kemudian duduk di samping Shella usai meletakkan sebuah kotak P3K.

Shella meletakkan gelas yang sudah kosong ke meja. Lantas tersenyum memandang Davin.

"Mau ngobatin gue nih ceritanya?"

Davin bersandar. Menyilangkan tangannya di depan dada. Menggeleng.

"Yang luka tuh elo. Gue nggak ikut campur."

Melongo, Shella langsung menghempas napas. Mengangkat bahunya. "Dikira gue ngarep, apa!" gumam Shella jengkel. Dia raih kotak P3K dan meletakkannya di pangkuan. Dia basahi kapas dengan cairan pembersih untuk mengelap darah di siku lengan kanannya. Di sampingnya Davin duduk memperhatikan.

Shella meringis, menahan perih dengan menggigit bibir.

Perih di sikunya mengalahkan nyeri dan ngilu di sekujur tubuhnya.

Shella benar-benar ingin menangis.

Dirinya tampak kesusahan melilit sikunya dengan kain kasa. Melihat itu Davin membuang napas. Dia lantas mengambil alih kain kasa untuk dililitkan ke siku Shella. Membuat Shella mau tak mau harus tercenung.

Selesai, mereka malah saling tatap. Meski tak jarang Shella melihat wajah itu, baru kali ini dia menatap Davin dalam jarak begitu dekat. Matanya coklat jernih dengan sorot menenggelamkan. Hidungnya tinggi lurus. Bibirnya ranum, cocok berada di rahangnya kuat. Rambutnya yang masih basah menutupi alis. Shella baru sadar kalau muka cowok ini ganteng juga.

Davin menjaga jarak. Mengernyit saat bertanya, "Lo ... bukannya cewek yang tadi nembak gue, ya?"

Shella merasa dagunya jatuh ke lantai.

"Setelah numpangin gue mandi dan minjemin gue sweater dan juga ngasih gue air putih lo tau siapa gue malah baru sekarang!!?" seru Shella histeris. Yang diteriaki malah menggeleng polos. Membuat Shella mengerang frustasi. "Sumpah lo emang cowok paling aneh yang pernah gue kenal!"

Tanpa menghiraukan kejengkelan Shella, Davin malah membalas, "Lo nggak abis diperkosa, 'kan?"

Mata Shella terbelalak. Mulut Davin terlalu berantakan. Tangannya refleks berayun, lalu tertahan di udara. Urung memukul kepala Davin. Melihat Davin menyeringai, Shella menurunkan tangannya kembali. Mendesis jengkel.

"Bukan urusan lo."

"Gue kenal cowok tadi."

Shella mengernyit. "Erwin maksud lo?"

Senyum Davin tampak aneh. Namun Shella mengabaikannya.

"Guru biola, 'kan?"

Shella memperbaiki posisi duduk untuk melihat Davin secara leluasa. "Kok tau!?"

"Dia bilang lagi nyari murid. Yang ada di rumah gue tuh elo, satu-satunya cewek yang suka main biola di ruang kesenian. Lo sekolah, bukan homeschooling. Jadi, yang lo butuhin cuma guru biola. Dan cowok tadi guru biola lo."

Shella terperangah. Tersenyum lebar memamerkan lesung pipi dan gingsulnya. Mengangkat kedua tangannya riang.

"Kereeeeen!!" teriaknya membuat Davin spontan menutup kedua telinga. "Kok lo bisa tau sih gue sering main biola di ruang kesenian?" Shella menunjuk Davin dengan senyuman lebar. "Lo stalking gue yaaa hayo ngaku! Berlagak nggak kenal gue eh nyatanya lo hobinya stalking!"

"Gue cuma nggak tau nama. Dan gue nggak hobi stalking."

Shella terkekeh. Menghadap ke depan. Ikut bersandar. Kekehannya berganti senyum pahit.

"Dia cowok paling brengsek tau! Gue seneng bisa mukulin kepala dia pake biola. Yah, walaupun biolanya terpaksa patah sih. Tapi gue tetep seneng. Udah lama gue mimpiin bisa ngasih itu cowok pelajaran."

Davin menatap kosong ke arah meja. Mendengarkan.

Shella menoleh, masih tersenyum. "Makasih ya udah bantuin. Tadinya sih gue benci sama lo. Sekarang nggak lagi."

Davin menyeringai. Ikut menoleh. "Selera gue tinggi. Soal jus, cewek sombong kayak lo emang pantes digituin."

Shella termangu. Menelan kalimat kasar Davin bulat-bulat. Terasa asing, juga menyakitkan. Tapi, entah kenapa dirinya merasa nyaman. Kalimat seperti itu.. bukankah Shella menantikannya dari dulu? Sebuah kejujuran. Dirinya yang sudah muak dipuji oleh mereka yang bermuka dua begitu menantikan cowok yang bisa mengutarakan kejelekannya. Dan Davin lah orangnya.

Alih-alih senang, Shella malah menyahut, "L-lo pikir, gue serius, apa!? Tadi tuh becandaan doang. Lo yang baper, sampe nyiram kepala gue segala!"

"Hoh. Pokoknya lo udah ditolak."

Shella tersenyum sinis. "Gini ya rasanya ditolak," Shella membuang napas. "Gue nolak cowok mulu sih. Eh sekarang giliran gue yang ditolak. Ck-ck. Payah."

Diam. Suara hujan kian mengisi kekosongan.

"Lo laper?"

Shella menoleh memandang Davin yang bertanya barusan.

"Nggak sih ...."

Davin spontan beranjak. "Bagus. Nggak ada makanan di sini."

Shella menatap jengkel.

Davin berjalan. "Istirahat aja di sini. Gue biarin lo nginep dulu. Guru lo masih di luar. Jadi, lo kabur, buat gue nggak ada masalah. Lo yang rugi."

Shella mengangguk memahami kalimat sarkas Davin. Dia membiarkan Davin menaiki tangga. Hilang di penglihatannya.

Ruangan remang. Hujan belum juga reda. Shella menutup kedua tangannya dengan ujung lengan sweater yang kepanjangan. Dengan tubuh nyeri dia berbaring di sofa. Menatap langit-langit. Menghela napas lelah.

Akhirnya, dirinya merasa tenang. Di sini, di rumah asing yang sunyi, dia bisa merebahkan diri dengan nyaman. Meski tak tahu pribadi Davin yang sebenarnya, meski tak bisa menjamin keamanan darinya, setidaknya, Shella bisa merasakan hangat. Walau dia sadar esok hari petaka itu pasti datang.

Erwin dan kedua ortunya pasti meminta pertanggungjawaban.

Shella memejam mata. Mari lupakan itu sejenak. Biarkan dia tidur nyaman malam ini.

*

Suara pintu membangunkannya.  Shella terduduk, termangu. Ada selimut di tubuhnya. Apakah Davin yang memberinya selimut?

Shella memandang sekeliling. Ruangan hanya bermodalkan cahaya teras luar. Remang. Shella lihat jam dinding. Pukul sebelas. Apakah Davin sudah tidur?

Tidak. Davin baru saja keluar dari rumahnya. Shella mendengar suara motor dari luar. Dia bergegas bangkit lalu tertatih menuju jendela. Dia sibak sedikit gorden, mengintip. Benar. Ada Davin di luar. Juga ada seseorang yang lain di atas motor trail.

Di balik helm trail yang dikenakan pengendara motor itu, Shella merasa tak asing.

Samar-samar suara mereka terdengar bersamaan suara hujan. Shella tersentak. Orang itu ... Leon, bukan!!?

Leon. Salah satu cowok yang baru saja dia tolak cintanya.

Benar. Tak salah lagi. Cowok yang berhasil membawa Davin pergi tengah malam begini adalah Leon. Kemana tujuan mereka?

Shella baru tahu mereka ada hubungan.

Hubungan macam apa yang membuat mereka pergi tengah malam begini!?

Shella menghela napas. Menjauh dari gorden. Kembali menduduki sofa. Dia selimuti tubuhnya. Berbaring. Meringkuk memandang ruangan remang.

Mencoba untuk tidur kembali.

*

Davin memasukkan ponselnya ke saku jaket hitam yang dia kenakan. Dia sisir rambutnya dengan jemari. Dia lihat kasurnya, lalu meraih selimut, kemudian berlarian menuruni tangga.

Sampai di ruang tamu, dia menatap Shella lekat-lekat. Dia tatap wajah Shella yang tertidur pulas dalam cahaya remang. Shella tampak kedinginan. Davin mengibarkan selimut, lalu menyelimuti Shella. Lantas meninggalkan gadis itu. Keluar dari rumahnya sekaligus mengunci pintu.

Leon beserta motornya sudah berada di teras. Tampak tak terganggu dengan guyuran hujan.

"Udah diservis, 'kan?" tanya Davin sembari menutup kepalanya dengan tudung jaket.

"Aela. Gue minjem motor tau diri kali Dav!" sahut Leon di balik helm trail. Davin yang acuh tak acuh lantas duduk di belakang Leon. Memakai helm yang Leon berikan.

"Buruan."

"Yoi, Bos!" Leon menarik pedal gas. Motor kian melaju. "Kalo bukan karna jasa lo pinjemin gue motor, gue nggak bakal mau tau, keluar malam hujan-hujan gini. Bareng lo pula. Besok ada praktek tau!"

"Gue traktir."

"Siap! Lo mau dianterin ke mana-mana, bahkan ke pintu sorga pun, bakal gue anter! Tenang aja!"

Davin melirik jam tangannya. Dia menghela napas.

"Kenapa mendadak sih, Dav? Lo nggak lagi mabuk, 'kan?"

"Nggak mau jawab."

Leon tergelak. "Yaudin. Target kita sekarang tuh bukan orang biasa. Murid-muridnya pada jadi musisi semua. Pentolannya orang-orang kaya. Kita bakal viral mulai besok. Walaupun selama ini kita udah viral sih hehehe."

Davin tak menanggapi. Sementara Leon masih berceloteh menembus dingin dan air hujan.

"Yeah, gue nggak mau tau sih hubungan lo sama dia apa. Yang jelas gue juga kepingin mainin dia dari dulu. Lo tau Shella, kan? Itu, primadona kita. Target lo itu sering ngelecehin Shella. Dan gue sebagai penggemarnya Shella nggak bisa diem dong Shella digituin. Akhirnya gue bisa bikin Shella tenang buahaha!!"

Davin tercenung. Apa yang dia dengar barusan? Shella? Leon menggemari Shella?

Leon terkekeh. "Kayaknya lo nggak perlu nraktirin gue deh. Soalnya impas, sih! Lo seneng. Gue seneng. Hahaha!"

Davin tak menjawab. Pikirannya masih terpaku akan perkataan Leon barusan. Jika Leon menggemari Shella, jangan pikir itu adalah bentuk hubungan yang biasa.

Leon tak cukup ramah jika sudah mencintai seseorang. Dan Davin mendadak tak ingin Shella sampai dicintai olehnya.

Shella in the Davin's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang