tujuh

1.1K 53 3
                                    

Firasat Shella benar.

Benedict tak pernah benar-benar memperlakukannya dengan baik.

Lihatlah. Setelah dipaksa mengenakan gaun bertali tipis yang hanya menutupi dada hingga paha atas, Benedict memaksanya untuk masuk ke suatu tempat yang sama sekali tak pernah Shella kunjungi.

Sebuah bar.

Shella mengutuk Benedict habis-habisan. Ingin rasanya dia menghancurkan wajah itu, membuatnya tak berbentuk. Sayang sekali. Shella adalah gadis ringkih yang lemah. Bahkan ketika tangannya ditarik kasar masuk ke dalam dan dipaksa duduk di kursi bundar depan bartender, dirinya tak mampu berkutik sedikit pun. Sekalipun itu hanya tersenyum, dia tak sanggup.

"Hei, Ben!" sapa seorang pria berambut kuning sambil merangkul bahu Benedict. Disusul banyak pria lainnya. Shella yang menunduk sama sekali tak ingin dan tak berani untuk melihat. Dia remas jemarinya di atas paha mulus yang menarik perhatian.

Sungguh, Shella ingin menangis. Sekarang juga.

"Anakmu?" tanya pria lain pada Benedict yang barusan meneguk segelas bir.

Benedict mengerutkan kening. Berpikir keras. "Hmm, mungkin." Lalu tersenyum usil.

Pria berambut kuning berbisik, "Ini kan, orangnya?"

Sambil menuangkan bir ke gelas, Benedict menjawab, "Sesuai janji."

Pria itu semringah, segera berdiri tegak. "Lima juta, 'kan? Siap," katanya terkekeh. Dia hampiri Shella yang masih menunduk. Tangannya menyentuh rambut Shella, menyelipkannya ke belakang kuping gadis itu.

Shella menahan napas. Berusaha tak menoleh.

Pria tiga puluhan itu tersenyum. "Shella, ya?" tanyanya sembari meraba pundak Shella, mengelusnya lembut. "Ikut Om, yuk."

Shella benar-benar ingin menangis mendengarnya.

"Shel, nurut sama Om Frederick!" titah Benedict. Shella menoleh tanpa ekspresi meski bibirnya jelas tampak bergetar. Dia menatap Benedict dengan tatapan memohon. Sekali lagi, Frederick meraba pundaknya dan menarik tangannya.

"Yuk."

Secara refleks, Shella menepis tangan besar itu. Membuat pria-pria di sekeliling menyahut heboh.

Gadis itu menolak ajakan Frederick mentah-mentah.

Frederick termangu sejenak. Dia memandang Benedict yang mengangkat bahunya tak peduli. Kembali dia tatap Shella, lantas menarik paksa tangan gadis itu supaya berdiri.

Shella hampir terhuyung. Tangan itu kasar sekali. Setengah mati dia berusaha lepas dari cengkeraman pria itu. Naas. Pria lain malah mencoba menarik tangannya yang lain. Membuat Shella spontan memberontak.

"Lepasin gue brengsek!"

"Ah. Kasar juga mulutnya," sahut pria yang lain. Tawa sontak menggema. Musik masih mendentum. Wanita-wanita yang penasaran ikut menyaksikan. Sebagai sesama wanita, bukannya membela, mereka malah tertawa meremehkan. Menganggap tindakan sok suci yang dilakukan Shella adalah sampah.

Frederick menampar pipi Shella. Membuat gadis itu termangu. Sambil diiringi sorakan orang-orang, Frederick merobek paksa tali pundak gaun yang Shella pakai. Putus. Gaun terusan itu lantas melorot. Namun Shella menahannya. Sekuat tenaga.

Frederick terpingkal. Orang-orang juga. Benedict yang katanya seorang ayah malah jadi penonton. Dia justru menyeringai sembari tetap meneguk bir. Sementara, Shella, gadis itu hanya menunduk takut. Wajah putus asanya tak satu pun menggugah hati mereka. Perlahan, sembilu itu mulai terasa.

Pedih sekali.

Pria lain mendorong Shella dari belakang. Shella berusaha untuk tak terjatuh meski sempat terhuyung. Lagi-lagi dia didorong. Dorongan yang kuat. Shella pikir dia akan jatuh. Namun aneh, wajahnya malah menghantam sesuatu yang hangat.

Shella in the Davin's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang